Jumat, 27 Februari 2015

Lihat Bufo melanostictus di Yogyakarta, Tidak di Papua!

Proses ampleksus kodok Bufo melanostictus pada malam hari di depan rumah kontrakan penulis di Yogyakarta (Foto: Aditya Krishar Karim).

Kodok jenis Bufo melanostictus Schneider, 1799 atau spesies dengan nama yang sering dipakai Duttaphrynus melanostictus Schneider, 1799, dimasukkan ke dalam famili Bufonidae. Kodok ini memiliki penyebaran yang cukup luas di Indonesia mulai dari Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, Sulawesi sampai di Papua dan Papua Nugini. Kodok ini cukup menarik dan memiliki nama yang banyak seperti bangkong kolong, kodok puru, kodok buduk (Jakarta), kodok berut (Jawa), kodok brama (Jawa untuk yang berwarna kemerahan), dan Asian black-spined toad, Common Indian Toad, Common Asian Toad (Inggris) (Iskandar, 1998; Menzies, 2006 ).

Kodok ini memiliki panjang antara 55-80 mm SVL untuk jantan dan 65-85 mm SVL untuk betina, berpenampilan gendut dan kulit yang kasar berbintil-bintil. Pada bagian kepala terdapat gigir keras (biasanya berwarna kehitaman) menonjol yang bersambungan mulai dari atas moncong; melewati atas, depan dan belakang mata hingga di atas timpanum (gendang telinga). Sepasang kelenjar parotoid (kelenjar racun) yang besar panjang terdapat di atas tengkuk (Iskandar, 1998). Sekresi kulit dan kelenjar granular dari katak ini menghasilkan beberapa senyawa bufadienolida, alkaloid, steroid, peptida dan protein, yang memiliki aktivitas biologi yang penting seperti antimikroba, anti kanker dan lain-lain (Bhattacharjee et al., 2011, Gomes et al., 2011).

Bagian punggung bervariasi warnanya antara coklat abu-abu gelap, kekuningan, kemerahan, sampai kehitaman. Terdapat bintil-bintil kasar di punggung dengan ujung kehitaman. Sisi bawah tubuh putih keabu-abuan, berbintil-bintil agak kasar. Telapak tangan dan kaki dengan warna hitam atau kehitaman, tanpa selaput renang, atau kaki dengan selaput renang yang sangat pendek (Iskandar, 1998).

Jenis ini terlihat sangat akrab dengan lingkungan tempat tinggal manusia. Makhluk ini sering terlihat di sekitar kos-kosan misalnya di dalam kamar mandi, teras rumah, bahkan masuk ke dalam rumah, di halaman, selokan dekat perumahan di sekitar perkampungan atau di kota-kota yang ada di Yogyakarta. Juga teramati di tempat-tempat keramaian seperti di sekitar mall-mall Malioboro. Dalam pengamatan sekitar wilayah kampus UGM, kodok puru ini sering terlihat melompat atau duduk termenung melihat aktivitas mahasiswa UGM yang begitu ramai baik pada siang hari atau malam hari. Keramaian kota Yogyakarta yang begitu padat tidak menjadi suatu masalah. Seolah-olah mereka berbaur dengan segala aktivitas manusia dan keramaian, walaupun beberapa ekor dijumpai mati tertabrak motor atau mobil di tengah jalan. Bahkan suatu ketika penulis sedang bersantap di rumah makan lesehan pinggir jalan, kodok tersebut juga teramati tanpa rasa takut. Mereka melompot-lompat dan berhenti sejenak menatapi kami dan melanjutkan perjalanannya entah ke mana. Selain itu, aktivitas ampleksus dari kodok ini dapat teramati pada saat hujan rintik, menjelang malam dekat rumah kontrakan kami di Yogyakarta, foto ini saya abadikan bersama anak saya Adiantha Putratama yang kala itu masih menjadi siswa di salah satu SD Negeri di Yogyakarta, sambil mengenalkan dan mengajarkannya tentang kodok ini.

Dilaporkan bahwa jenis ini merupakan kodok introduksi di Papua dan Papua Nugini (Menzies, 1976, 2006). Oleh karena itu, untuk menemukannya sangat sulit sekali dan sekarang memiliki penyebaran yang terbatas di wilayah Papua yaitu di daerah pesisir sekitar Manokwari (Kartikasari, dkk. 2012). Bahkan untuk wilayah Jayapura dan sekitarnya dari beberapa penelitian yang dilakukan mahasiswa kelompok Herpetologi Jurusan Biologi, FMIPA UNCEN tidak pernah masuk daftar sama sekali. Hal ini nampak berbeda di Yogyakarta, kodok ini mudah sekali dijumpai pada saat menjelang malam apalagi pada saat hujan rintik-rintik. Pertanyaannya, apakah para kodok jenis ini lebih senang tinggal di kota-kota yang ramai mengikuti pola hidup manusia yang suka mencari pekerjaan dan nafkah di kota-kota besar, dibandingkan tinggal di hutan-hutan tropis Papua yang tenang, aman dan damai?

Untuk itu, bagi para herpetologis atau peminat hewan-hewan herpetofauna yang belum pernah melihat jenis kodok ini, Kota Yogyakarta merupakan salah kota alternatif yang dapat dikunjungi selain melihat keindahan candi-candinya, tempat wisata dan keramaian kota ini juga dapat melihat jenis kodok yang memiliki persebaran yang unik tersebut.

Pustaka
Bhattacharjee, P, Giri, B, and Gomes, A. 2011. Apoptogenic Activity and Toxicity Studies of A Cytotoxic Protein (BMP1) from The Aqueous Extract of Common Indian toad (Bufo melanostictus Schneider) Skin. Toxicon. 57(2): 225-236.
Gomes, A., Giri, B., Alam, A., Mukherjee, S., Bhattacharjee, P and Gomes, A. 2011.  Anticancer Activity of A Low Immunogenic Protein Toxin (BMP1) from Indian Toad (Bufo melanostictus, Schneider) Skin Extract. Toxicon. 58(1): 85-92.
Iskandar, D.T. 1998. Amfibi Jawa dan Bali. Pustlitbang Biologi-LIPI. Bogor.
Menzies,  J. 1976.  Handbook of Common New Guinea Frogs. Wau Ecology Institute. PNG.
Menzies, J. 2006. The Frog of New Guinea and The Solomond Islands. Pensoft Publisher. Bulgaria.
Kartikasari, S.N., Marshall, A.J., and Beehler, B.M. (Eds). 2012. Ekologi Papua. Seri Ekologi Indonesia Jilid VI. Yayasan Obor Indonesia dan Conservation International. Jakarta.


Oleh Aditya Krishar Karim
(Laboratorium Zoologi, Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Cenderawasih, email : krisharkarim@yahoo.com)








Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sahabat Herpetologer Mania yang baik, silahkan membubuhkan komentar Anda. Jika ingin lebih cepat direspon, Sahabat Herpetologer Mania bisa berdiskusi melalui imel kami: herpetologermania@gmail.com atau ke grup media sosial fesbuk: Herpetologer Mania.

Salam herping!