Minggu, 29 Maret 2015

Rachmi

Rachmi adalah gadis yang suka berkegiatan. Kini Rachmi banyak menghabiskan waktunya sebagai entrepener. Eks mahasiswa Biologi FMIPA USU ini sedang melanjutkan kreatifitasnya sewaktu mahasiswi dalam mengikuti program kreatifitas mahasiswa. Nama usahanya adalah Glow Bag, yakni memproduksi aneka tas, dompet, dan aksesoris lainnya dengan mengandalkan kreatifitas rajutan.

Rachmi memiliki ketertarikan yang kuat terhadap fotografi. Pada suatu waktu, gadis kelahiran 11 November 1991 ini masuk ke dalam organisasi Bengkel Fotografi Sains (BFS) Dept. Biologi FMIPA USU dan sempat menjadi koordinator pada periode 2012-2013 di organisasi yang sama.

Pengalaman Rachmi di organisasi berlanjut setelah selesai kuliah. Beliau bergabung bersama komunitas Herpetologer Mania. Di dalam mujet redaksi majalah Herpetologer Mania, Rachmi menjadi penata letak.

Dalam satu kegiatan hunting bersama sewaktu mahasiswi, Rachmi mengunjungi Hetts Bio Lestari dan memulai petualangan yang tergolong baru baginya waktu itu. Mereka memotret dan menjadikan ular sebagai model foto, padahal dia masih canggung dengan hewan berbisa. Simak tulisannya di sini.













Sabtu, 28 Maret 2015

Kebersamaan yang Menghilangkan Rasa Takut

Ular merupakan salah satu reptil berbahaya namun banyak orang yang tertarik untuk memeliharanya. Selama ini mendengar kata “ular” selalu identik dengan kelicikan, kejahatan, pokoknya yang buruk-buruk deh seperti Voldemort dan Orochimaru dengan ularnya. Selo guys, kali ini beda cerita.

Sabtu sore, rombongan Ular Fun Foto Hunting yang diselenggarakan oleh KFAL & Herpetologer Mania tiba di Hetts Bio Lestari yang merupakan penangkaran ular terbesar di Indonesia untuk jenis Tropidolaemus wagleri atau jenis yang berbisa tinggi. Lokasinya terletak di Jl. Namu Pencawir No. 174 Desa Tuntungan Dua, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang. Sebenarnya tak sulit menemukan lokasi penangkaran ular ini, hanya sekitar 30 menit dari Kota Medan.

Begitu sampai di Hetts Bio Lestari, rombongan kami langsung disambut oleh aksinya king kobra, dan menjadi model para rombongan fotografer. “Motret ular, siapa takut?”

Memotret ular.
Dulunya saya takut ular, tapi kali ini malah ularnya menjadi objek fotografiku.  Ketakutan terhadap ular hilang setelah pawangnya menjelaskan kepada kami bahwa “ular tak akan mengganggu, bila tak diganggu duluan”. Saya sendiri lebih menyukai memotret piton albino, warnanya soft banget, jinak, tapi sayangnya berat banget, jadi tak bisa foto berkalung ular.

“Kawasan penangkaran ular ini seluas ± 7000 meter persegi dan memiliki koleksi ± 2000 ekor ular”, kata pengelola penangkaran. Wow, banyak sekali ular-ular di sini! Di antaranya adalah Tropidolaemus wagleri, Condrophyton veridis, dll.

Beberapa pecinta reptil Kota Medan sekaligus bergabung bersama kunjungan kami. Mereka menceritakan bahwa umumnya pengalaman pertama motret ular terasa seram. Ular berdesis dan kelihatan sedikit agresif, apalagi melihat ular yang memiliki kepala segitiga full rasanya cukup memberi rasa gugup. Ular di sini tergolong berbisa tinggi, jadi harus lebih berhati-hati ketika memotret ular khusuhnya bagi pemula.

Salah satu momen yang sangat ditunggu-tunggu fotografer adalah ketika pemberian pakan favorit ular tikus putih (mencit). Keganasan ular pun muncul saat itu, si ular membius mencit dan menelannya setengah badan sampai si mencit mengeluarkan kotoran dan air seni secara terpaksa. Wah, sungguh sangat sadis tingkah laku si ular ketika melahap mangsanya.

Ular juga salah satu hewan karnivora yang memerlukan asupan makanan berupa daging, sehingga harus diberikan pakan sesuai dengan ukuran kepala dan mulutnya, karena si ular tidak bisa mencabik-cabik atau mengunyah mangsanya.

Pemotretan terus berlanjut. Saking seriusnya, para fotografer sampai miring-miring kepala, nungging-nungging bahkan level yang paling parah adalah jreng, reng, terdengar bunyi: Tutttttttt ……! Ternyata salah satu dari fotografer yang motret sampai terkentut-kentut. Bisa saja karena rasa takut atau mungkin karena terlalu serius, hehehe. Tentu saja kejadian itu membuyarkan konsentrasi  fotografer lain.

Berpose bersama ular-ular.
Seandainya ular bisa bicara, dia akan mengungkapkan siapa pelakunya. Itulah bahagian asyiknya foto ramai-ramai. Sampai kami sedang makan bakso pun, kejadian itu menjadi bahan candaan yang membuat kami terbahak-bahak. Ini adalah kebersamaan yang tidak kami dapatkan pada kegiatan lain.


Salam fotografi dan salam herping ...

(Teks oleh Rachmi, foto oleh Khairul Umri dan Rachmi)

Selasa, 17 Maret 2015

Arfah Nasution

Jika kita memiliki waktu panjang, kenapa tidak berbuat lebih. Begitulah yang mungkin bisa digambarkan kepada Arfah Nasution ketika melakukan penelitian perilaku sosial induk anak orangutan di Kawasan Hutan Batang Toru Blok Barat (KHBTBB) Sumatera Utara. Gadis kelahiran Medan, 21 September 1990 ini mencatat dan mendokumentasikan temuan ular-ular di Hutan Batang Toru saat mengadakan penelitiannya untuk skripsi. 

Arfah sebenarnya tidak terlalu memperhatikan amfibi dan reptil karena bukan obyek penelitiannya. Tetapi ada saja makhluk hidup di sekelilingnya yang kadang-kadang mencuri perhatiannya sebagai mahasiswa jurusan biologi. Sambil menyelam minum air, sebagian hal-hal yang nampak itu masuk dalam catatannya, terutama ular-ular  yang ada di sana.

Tak ingin foto-fotonya hanya untuk dinikmati sendiri, mahasiswi yang sekarang menimba ilmu S2 di jurusan Biosains Hewan, Institut Pertanian Bogor (IPB) ini meluangkan waktunya sedikit untuk corat-coret pengalamannya di majalah Herpetologer Mania. Tak hanya pengalamannya di Batang Toru saja, Arfah adalah salah satu penulis setia di majalah Herpetologer Mania. Nah, mari kita simak tulisan-tulisannya di bawah ini:















Jumat, 13 Maret 2015

Menilik Pesona Ular-ular Batang Toru

Banyak orang beranggapan bahwa Batang Toru adalah hanya sebatas salah satu kabupaten yang terletak di Tapanuli Selatan yang terkenal dengan tambang emasnya. Namun sesungguhnya, berbicara tentang Batang Toru tidaklah melulu tentang tambang logam mulia itu. Kawasan Hutan Batang Toru terdiri dari dua blok, yaitu Blok Barat dan Blok Timur yang terbentang di tiga kabupaten, yaitu Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan. Hutan Batang Toru merupakan harta karun Tapanuli yang memiliki kekayaan dan fungsi ekologis yang sangat penting.

Hutan tersebut adalah habitat terakhir bagi populasi orangutan Sumatera (Pongo abelii) yang jauh terpisah dari orangutan lain di Sumatera Utara dan Aceh (Yel, 2007). Selain orangutan, Batang Toru adalah habitat bagi harimau Sumatera, tapir, kambing hutan, owa, kucing batu, siamang, beruang madu, berbagai jenis burung, serangga, dan lainnya.

Dari kajian herpetofauna, khususnya reptil, kawasan hutan Batang Toru memiliki keanekaragaman reptil yang cukup tinggi. Jenisnya antara lain Ophisaurus wagneri, Phyton reticulates, Cuora amboinensis, Megophrys nasuta, Huia sumatera, dll. Di sini saya akan berbagi pengalaman tentang perjumpaan ular ketika melakukan penelitian di Stasiun Pemantauan Flora Fauna SOCP-Yel Batang Toru. Saya sendiri sebenarnya masih sangat “buta” dunia ular.

Stasiun pemantauan flora fauna SOCP-YEL --dikenal juga dengan nama Camp Mayang-- termasuk dalam kawasan hutan lindung, berada di hutan Batang Toru blok barat Kabupaten Tapanuli Utara seluas area lebih kurang 12 km. Berdasarkan pemantauan herpetofauna yang telah dilakukan oleh SOCP-YEL, ditemukan 4 famili ular, yaitu dari famili Colubridae, Elapidae, Typhlophiidae, dan Viperidae (Yel, 2012).

Februari 2013 lalu, saya melakukan penelitian selama tiga bulan di Stasiun Pemantauan Flora dan Fauna SOCP-YEL Batang Toru. Penelitian ini sama sekali tidak berhubungan dengan ular atau pun herpetofauna, melainkan perilaku sosial orangutan. Namun waktu itu, saya sempat beberapa kali membantu teman saya yang sedang melakukan penelitian amfibi dan juga berkesempatan herping bersama pengamat herfetofauna berpengalaman, Mistar Kamsi. Dalam kegiatan herping yang saya ikuti, kami menemukan beberapa jenis ular, yaitu Trimeresurus albolabris, Dryocalamus subannulatus dan Xenochrophis trianguligerus

Trimeresurus albolabris lebih dikenal oleh masyarakat setempat dengan sebutan ulok naoto (ular bodoh) karena ular ini bisa bertengger di atas pohon yang sama selama berbulan-bulan. Trimesurus albolabris adalah spesies ular dari famili Viperidae. Bandotan (Viperidae) adalah ular dengan taring panjang bergantung, memiliki bisa yang bervariasi antar spesies. Biasanya bisa mengandung protein pemecah sel darah yang menyebabkan pendarahan internal. Trimesurus albolabris yang kami jumpai ini baru berganti kulit sehingga sangat sensitif dan cukup agresif. Dengan kondisinya yang seperti itu saya cukup takut untuk mengabadikannya dengan lensaku. Namun dengan bantuan Mistar Kamsi, akhirnya saya mendapatkan foto yang lumayan bagus.


Dryocalamus subannulatus dan Xenochrophis trianguligerus adalah spesies ular dari famili Colubridae. Colubridae merupakan spesies ular yang paling sering kami jumpai. Suku ini adalah famili terbesar (2/3 dari seluruh spesies) di dunia. Sebagian besar ular bertaring belakang tidak terlalu berbahaya bagi manusia karena taringnya terletak jauh di belakang sehingga tidak terlalu berfungsi. Xenochrophis trianguligerus atau ular segitiga merah memiliki banyak variasi warna sehingga lebih akurat dengan menghitung jumlah sisik.

Sewaktu melakukan pencarian orangutan terkadang kami bertemu dengan beberapa jenis ular, seperti Calliophis bivirgatus, Trimeresurus hageni, dan Calamaria margaritophora. Calliophis bivirgatus adalah spesies ular dari famili Elapidae yang semuanya berbisa. Elapidae memiliki taring yang terletak di bagian depan rahang atas sehingga dapat menyuntikkan bisa melalui serangan tiba-tiba dan mematikan. Sepintas ular ini mirip  Calamaria schlegeli, namun sebenarnya antara Calamaria schlegeli dan Calliophis bivirgatus jelas berbeda. Kuncinya ada pada ekor, Calliophis bivirgata memiliki ekor berwarna merah, sedangkan Calamaria schlegeli tidak. Warna kepala juga berbeda, Calliophis bivirgata memiliki tanda "panah" di bagian kepalanya, sedangkan Calamaria schlegeli batas warna merah kepala dan leher melingkar rapi. Sisik Calamaria sp cenderung memendarkan cahaya, warna tubuh mengilat dan berwarna seperti pelangi ketika terkena cahaya. Sangat berbahaya apabila kita tertukar dalam mengidentifikasi ular ini karena Calamaria schlegeli adalah ular Colubridae yang tidak berbisa, sementara Calliophis bivirgata adalah ular Elapidae yang memiliki bisa mematikan. Ular yang dulu memiliki nama Maticora bivirgata ini kami temukan ketika siang hari sehingga tidak begitu agresif. 
 
Trimeresurus hageni kami temukan di lantai hutan. Dia begitu tenang dan tidak menunujukkan pergerakan sedikit pun, seperti ular yang sudah mati. Mungkin karena sifatnya yang nokturnal (aktif malam hari) sehingga ketika kami menemukannya di siang hari ular tersebut tidak begitu aktif. Berbeda dengan Trimeresurus albolabris, (hagen’s pit viper) memiliki tekstur kulit yang kuat. Trimeresurus hageni merupakan endemik Asia Tenggara, persebarannya di Indonesia hanya terbatas di pulau Sumatera dan pulau-pulau kecil di sekitarnya.
 
Calamaria margaritophora merupakan ular dari kelompok Colubridae. Awalnya saya mengira bahwa ular ini merupakan anakan, namun ternyata ular endemik Sumatera ini memang memiliki ukuran yang relatif kecil dengan panjang maksimum 36 cm.
 
Hutan Batang Toru masih menyimpan banyak misteri keragaman herpetofauna khususnya ular yang belum banyak digali dan dikaji. Saya yakin dengan penelitian yang berkelanjutan, serius, dan fokus akan diperoleh keanekaragaman ular yang lebih besar. Dengan melakukan penelitian berarti kita telah ikut bertindak dalam pelestarian herpetofauna serta menambah khazanah dalam ilmu pengetahuan. Hutan Batang Toru menyimpan kekayaan alam yang bermanfaat bagi seluruh lapisan makhluk hidup. Oleh karena itu, sudah sewajarnya kita sebagai manusia menjaga kelestarian hutan yang menjadi habitat berbagai jenis flora maupun fauna dan menyangga kehidupan makhluk hidup.

Terima kasih kepada semua teman-teman Herpetologer Mania yang banyak membantu saya dalam mengidentifikasi dan memberikan penjelasan tentang semua hal yang berhubungan dengan tulisan ini. Untuk itu, kepada Agus Jati, Syahputra Putra, Riza Marlon, Roy Hasby, Muhammad Iqbal, Aristyawan Cahyo Adi dan Akhmad Junaedi Siregar, transfer ilmunya tentunya sangat bermanfaat.

Teks dan foto oleh Arfah Nasution




Pustaka:
Ensiklopedia Dunia Hewan: Reptil
Laporan Hasil Monitoring Flora Dan Fauna Di Stasiun Penelitian Hutan Batang Toru, Tapanuli    Utara-Sumatera Utara (SOCP-YEL). Unpublished report.

















Rabu, 11 Maret 2015

Boy Sandi

Memimpin sebuah organisasi pecinta alam adalah sebuah amanah besar. Di dalamnya ada tanggung jawab yang tinggi karena ketua umum merupakan salah satu setir paling berpengaruh dalam sebuah organisasi. Boy adalah mantan ketua umum Biologi Pecinta Alam & Studi Lingkungan Hidup (Biopalas) Dept. Biologi FMIPA USU. Kini Boy sedang menikmati suasana sebagai fresh graduate dari tempatnya menimba ilmu.

Sebagai orang yang pernah menjadi ketua umum pecinta alam yang concern terhadap penelitian-penelitian lingkungan hidup, Biopalas memiliki berbagai divisi, termasuk divisi fauna. Waktu itu beliau harus memastikan setiap divisi itu berjalan dengan baik dan sesuai dengan visi misi yang telah disepakati. Tapi tidaklah Boy selalu berada pada pihak yang selalu memerintah "tangan-tangannya" di organisasi. Boy suka berada di depan, termasuk untuk kegiatan lapangan seperti herping.

Pada sebuah kesempatan, Boy telah berada di sebuah lokasi yang tak jauh dari Kota Medan. Kita bisa menyimak herping kecil dari catatannya ini:



Selasa, 10 Maret 2015

Ular Bulan yang Dekat dan Berbahaya!

Ular bulan (Tropidolaemus wagleri).
Penduduk lokal, teman kami cerita-cerita sewaktu mengadakan herping pada 27-30 Juni 2013 yang lalu di Desa Cinta Rakyat, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara membuat kami merinding. “Kawan kami tergigit ular bulan, lalu beberapa detik racunnya langsung bereaksi”, terangnya.

Boy Sandi (depan kiri) herping bersama teman-temannya.
Ular bulan, demikian penduduk lokal menyebut salah satu ular yang mereka kenal dengan baik.  Ular yang dimaksud adalah jenis Tropidolaemus wagleri. Ular ini memiliki keunikan tersendiri yakni tidak agresif di siang hari dan lebih aktif pada malam hari (nocturnal). Taksonomi menggolongkannya ke dalam suku Viveridae yang secara umum memiliki bisa yang berbahaya bahkan menyebabkan kematian. Racun yang dihasilkan dapat merusak sistem saraf (neuraorokxin) dan sistem peredaran darah manusia. Bisanya cenderung digunakan untuk melemahkan mangsa ketimbang membela diri.


Tenda kemping.
Pengamatan atas kelompok Herpetologer Mania tersebut cukup beruntung menemukan jenis ular bulan. Kami berjumpa di jalur yang biasa dilewati penduduk. Ternyata mereka ada bersama dengan lingkungan yang dekat dengan manusia. Warnanya didominasi hijau muda yang mulus dan disisipi warna kuning sebagai batas warna hijau. Sekilas, bagian depan terlihat menyeramkan. Ini memang predator sejati. Mereka sangat dekat di sekeliling kita dan racunnya berbahaya.  

(Oleh Boy Sandi, foto oleh Chairunas Adha Putra)















Jumat, 06 Maret 2015

Rahmad Adi

Menelusuri alam seperti menelusuri buku-buku yang terkembang. Alam adalah ayat-ayat Tuhan yang sangat baik untuk dipelajari. Salah satu yang memudahkan mendalami pelajaran itu adalah dengan mendokumentasikannya terlebih dahulu.

Oleh karena itu, memotret menjadi cukup penting. Itulah yang kita lihat pada diri Rahmad Adi. Beliau gemar untuk mendokumentasikan alam di depannya. Pria yang lebih akrab dipanggil "Ucok" ini bahkan memandang lebih jauh, bahwa jepret-menjepret adalah sebuah apresiasi yang dapat menutupi apresiasi negatif terhadap alam. Memelihara ular baginya adalah tindakan yang tidak tepat. Lebih baik memotretnya di alam, tentunya semuanya lebih indah di alam. Tanpa rekayasa.

Rahmad Adi dilahirkan pada 21 Agustus 1984 yang lalu dan saat ini menjadi salah satu staf Wildlife Conservation Society (WCS). Beliau telah hilir mudik memasuki hutan Taman Nasional Gunung Leuser. Sejalan dengan itu, banyak pula cerita perjalanannya.

Soal fotografi herpetofauna? Ada baiknya kita mengelik tautan di bawah ini sebagai cerita perdananya untuk Herpetologer Mania.

Rabu, 04 Maret 2015

Memotret untuk Menjaga Alam dan Melestarikan Herpetofauna

Lansekap Taman Nasional Gunung Leuser.

Melalui mata kamera kita dapat melindungi satwa. Memotret adalah salah satu cara mengapresiasi keindahan satwa di alamnya. Hal demikian itu, setidaknya mengurangi apresiasi satwa dengan cara memilikinya sendiri. Begitulah salah satu yang saya pahami kaitan antara memotret dan konservasi.

Katak terperangkap pada tumbuhan pemangsa kantung semar.
Sebagai bahagian dari anggota yang tergabung dari badan yang bermisi menyelamatkan satwa lindung, saya sering melakukan perjalanan di alam bebas. Kadang perjalanan tersebut memakan waktu berhari-hari, semisal di Taman Nasional Gunung Leuser. Selama itu pula banyak momen penting yang seharusnya diabadikan. Di antaranya adalah lokasi perjalanan ekstrim di pegunungan, sungai-sungai, air terjun serta belukar-belukar yang diselimuti lumut. Tentunya di dalamnya ada keanekaragaman yang bersembunyi, salah satunya yang kusukai adalah herpetofauna.

Media foto adalah cara termudah menceritakan alam. Ada peristiwa dan kejadian yang bisa terekam. Terkadang, ada saatnya kita membiarkan foto yang berbicara, seperti halnya yang dilakukan pelestari alam. Beberapa kelompok seperti  IWP (Indonesia Wildlife Photography), RWP(Riau Wildlife Photography) serta dari Herpetologer Mania telah memulai pendekatan konservasi melalui karya fotografi.

Bunglon endemik Sumatra, Dendragama boulengeri.
Bagaimana dengan amfibi dan reptil? Amfibi dan reptil ternyata termasuk satwa yang memiliki ancaman yang tinggi. Bagian tubuhnya banyak digunakan menjadi bahan baku aksesoris. Katakanlah itu berupa tas atau sepatu, hidangan kuliner bagi pencinta makanan reptil, serta ada yang tak kalah menariknya saat ini, banyak kalangan anak muda  yang mememelihara reptil dan amfibi sebagai bahan pencitraan.

Kiranya, fotografi bisa menjadi alternatif untuk menggantikan keinginan orang-orang yang menikmati amfibi reptil dengan cara yang kurang tepat. Jadi mari kita apresiasi mereka yang sudah hobi fotografi alam. Apalagi sebagian di antara mereka sudah meluncurkan buku-buku kumpulan dari karya-karya foto.


Bufo juxtasper.
Selamat berkarya dan enjoy the adventure!

(Teks & foto oleh Rahmad Adi --- WCS IP)





Selasa, 03 Maret 2015

Chairunas Adha Putra



Chairunas Adha Putra yang biasa dipanggil “Nchay” lahir di Medan, 12 Juli 1989. Nchay tertarik dan memulai memotret satwa liar terutama amfibi, reptil dan burung sejak tahun 2009. Lulus kuliah strata I di Departemen Biologi FMIPA USU tahun 2012 dengan judul penelitian “Keanekaragaman Jenis Burung Air di Kawasan Pesisir Pantai Timur Kabupaten Deli Serdang Propinsi Sumatera Utara.

Selama kuliah, pemerhati burung ini aktif mengikuti beberapa organisasi intra kampus, di antaranya Ketua Umum Biologi Pecinta Alam dan Studi Lingkungan Hidup (Biopalas) Dept. Biologi FMIPA USU (2010-2012), sebuah organisasi kecil di Fakultas MIPA USU yang memiliki minat tinggi terhadap konservasi satwa liar. Beliau pernah menjabat sebagai Ketua Divisi Studio Bengkel Fotografi Sains (BFS) Dept. Biologi FMIPA USU (2009-2011) di mana organisasi tersebut fokus pada fotografi “natural sains”. Selain itu, Nchay adalah salah satu inisiator pendiri Komunitas Pecinta Amfibi dan Reptil di Sumatera Utara (Herpetologer Mania).

Pengalaman lapangan herpetofaunanya juga cukup memadai terutama semenjak survei-survei amfibi di Sumatera Utara dalam menjalani tugas kuliah dan organisasi yang digeluti. Survei Amfibi di Kawasan Bumi Perkemahan Sibolangit telah dilakukan berkali-kali yang diawali dari Praktik Kerja Lapangan (PKL) pada tahun 2010.

Saat ini Nchay sedang mengerjakan penelitian beberapa habitat burung di pesisir Sumatera Utara sebagai tugas akhir dari perkuliahannya. Anak laki-laki dari seorang ibu bermarga Siregar ini kini adalah mahasiswa dari jurusan Biosains Hewan di Institut Pertanian Bogor.

Di majalah Herpetologer Mania, beliau berperan sebagai editor. Itu artinya setiap tulisan yang masuk, beliaulah yang akan melihatnya terlebih dahulu dan mengirimnya ke penata letak kalau tidak ada komentar dari pemimpin redaksi yang bersifat mendasar.

Di sela-sela sebagai editor, Nchay juga sering menulis untuk majalah kecil tersebut. Kita boleh menyimaknya di bawah ini:












Senin, 02 Maret 2015

“Fosil Hidup” itu ada di Asam Kumbang Medan!


Buaya merupakan hewan purba yang hanya sedikit mengalami perubahan dari zaman Cretaceous (sekitar 145-65 juta tahun yang lalu). Buaya memiliki kekerabatan yang lebih erat dengan burung dan dinosaurus jika dibandingkan dengan kebanyakan reptil pada umumnya. Beberapa contoh buaya purba yang hidup pada zaman tersebut di antaranya, Kaprosuchus saharicus, Araripesuchus rattoides, Laganosuchus thaumastos, Anatosuchus minor, Araripesuchus wegeneri, Sarcosuchus imperator dan Deinosuchus rugosus.

Saat ini, di dunia terdapat sekitar 25 jenis buaya dan di Indonesia hanya terdapat 7 jenis, yaitu buaya mindoro (Crocodylus mindorensis), buaya irian (Crocodylus novaeguineae), buaya air asin/muara (Crocodylus porosus), buaya kalimantan (Crocodylus raninus), buaya air tawar/siam (Crocodylus siamensis), buaya sahul (Crocodylus sp.) dan buaya senyulong (Tomistoma schlegelii). Dua jenis dari ketujuh jenis di atas terdapat di penangkaran buaya milik Lo Than Muk, Jalan Bunga Raya II No. 59, Desa Asam Kumbang, Kecamatan Medan Selayang, Medan, Sumatera Utara.

Perbandingan ukuran rangka rahang buaya purba dengan buaya modern.
Penangkaran Asam Kumbang dibangun pada tahun 1959 yang dimulai dengan 12 ekor anak buaya yang berasal dari sungai-sungai di Sumatera Utara. Penangkaran buaya yang disebut-sebut sebagai yang terbesar di Asia ini memiliki luas sekitar 2 hektar dan menampung buaya mencapai 2.800 ekor yang terdiri dari 2 jenis yaitu, buaya muara (Crocodylus porosus) dan buaya sinyulong (Tomistoma schlegelii). Selain buaya di penangkaran ini juga terdapat 1 jenis ular yaitu, ular phyton (Phyton reticulatus) dan 2 jenis kura kura yaitu, baning coklat (Manouria emys) dan kuya batok (Cuora amboinensis).

Buaya muara merupakan penghuni terbanyak di penangkaran Asam Kumbang, memiliki ciri tubuh yang besar, moncong lebar, sisik belakang kepala berukuran sangat kecil, gigi berjumlah sekitar 17-19 buah, sisik punggung berlunas pendek dan berjumlah 16-17 baris dari depan ke belakang. Habitat alaminya di daerah muara sungai dan memiliki kebiasaan suka berjemur di pagi hari.

Morfologi luarnya memperlihatkan dengan jelas cara hidup hewan pemangsa akuatik. Tubuhnya yang streamline memungkinkannya untuk berenang cepat. Buaya melipat kakinya ke belakang melekat pada tubuhnya, untuk mengurangi hambatan air dan memungkinkannya menambah kecepatan pada saat berenang. Jari-jari kaki belakangnya berselaput renang, yang meskipun tak digunakan sebagai pendorong ketika berenang cepat, selaput ini amat berguna tatkala ia harus mendadak berbalik atau melakukan gerakan tiba-tiba di air, atau untuk memulai berenang. Kaki berselaput juga merupakan keuntungan manakala buaya perlu bergerak atau berjalan di air dangkal.

Ilmuan memeriksa tengkorak purba di Nigeria.
Hewan ini memiliki rahang yang sangat kuat, yang dapat menggigit dengan kekuatan luar biasa, menjadikannya sebagai hewan dengan kekuatan gigitan yang paling besar. Tekanan gigitan buaya ini tak kurang dari 5.000 psi (setara dengan 315 kg/cm²) dibandingkan dengan kekuatan hiu putih raksasa sebesar 400 psi, atau dubuk (hyena) sekitar 800–1.000 psi. Gigi-gigi buaya runcing dan tajam, amat berguna untuk memegangi mangsanya. Buaya menyerang mangsanya dengan cara menerkam sekaligus menggigit mangsanya, kemudian menariknya dengan kuat secara tiba-tiba ke air. Oleh sebab itu otot-otot di sekitar rahangnya berkembang sedemikian baik sehingga dapat mengatup dengan amat kuat. Mulut yang telah mengatup demikian juga amat sukar dibuka. Akan tetapi sebaliknya, otot-otot yang berfungsi untuk membuka mulut buaya amat lemah. Biasanya para peneliti buaya cukup melilitkan perekat besar (lakban) beberapa kali atau mengikatkan tali karet ban dalam di ujung moncong yang menutup, untuk menjaganya agar mulut itu tetap mengatup sementara dilakukan pengamatan dan pengukuran, atau manakala ingin mengangkut binatang itu dengan aman. Cakar dan kuku buaya pun kuat dan tajam, akan tetapi lehernya amat kaku sehingga buaya tidak begitu mudah menyerang ke samping atau ke belakang.

Perbandingan buaya masa lampau dengan manusia saat ini.
Pada musim kawin buaya dapat menjadi sangat agresif dan mudah menyerang manusia atau hewan lain yang mendekat. Di musim bertelur buaya amat buas menjaga sarang dan telur-telurnya. Induk buaya betina umumnya menyimpan telur-telurnya dengan dibenamkan di bawah gundukan tanah atau pasir bercampur dengan serasah dedaunan. Embrio buaya tak memiliki kromosom seksual, yakni kromosom yang menentukan jenis kelamin anak yang akan ditetaskan. Jadi tak sebagaimana manusia, jenis kelamin buaya tak ditentukan secara genetik. Alih-alih, jenis kelamin ini ditentukan oleh suhu pengeraman atau suhu sarang tempat telur ditetaskan. Pada buaya muara, suhu sekitar 31,6°C akan menghasilkan hewan jantan, sedikit lebih rendah atau lebih tinggi dari angka itu akan menghasilkan buaya betina. Masa pengeraman telur adalah sekitar 80 hari, tergantung pada suhu rata-rata sarang.

Lo Than Muk bersama istri.
Berbagai atraksi dan pertunjukan dapat dilihat di penangkaran buaya milik Lo Than Muk ini, dari atraksi buaya, ular phyton, memberi makan buaya dengan melemparkan bebek yang dijual dengan harga Rp30.000 dan sekedar berfoto bersama satwa liar tersebut. Dari tahun 1959 sampai dengan sekarang penangkaran ini tidak pernah sepi dari pengunjung dan menjadi salah satu tujuan wisata favorit di pusat Kota Medan. Tahun 2012 yang lalu, keluarga Lo Than Muk mendapat penghargaan dari Walikota Medan, Drs. H. Rahudman Harahap, MM sebagai “Tourism Personality Of The Year”. Dan saat ini penangkaran ini sudah diresmikan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Medan. Jadi jika Anda ingin melihat “fosil hidup” di zaman modern saat ini, Anda dapat mengunjungi penangkaran buaya milik keluarga Lo Than Muk sebelum semuanya benar-benar punah.

(Oleh Chairunas Adha Putra, foto oleh Chairunas Adha Putra dan dari berbagai sumber)

Minggu, 01 Maret 2015

Aditya Krishar Karim


Banyak cara orang memandang sesuatu. Dan dengan cara pandang itu pulalah seolah-olah kebenaran itu subyektif. Hal tersebut juga boleh melekat dalam dunia amfibi dan reptil. Bufo melanostictus, si kodok puru asia bagi orang Sumatera dan sekitarnya adalah sesuatu obyek biasa dan relatif dicuekkan. Tetapi tidak bagi mereka di Papua. Menemukan katak puru itu di perkotaan adalah suatu catatan yang menarik.

Aditya Krishar Karim, S.Si, M.Si dalam satu kesempatan studi di Yogyakarta tentu saja heran dengan keberadaan Bufo melanostictus yang tersebar merata dalam populasi yang tinggi. Asisten ahli di jurusan Biologi FMIPA Universitas Cenderawasih (UNCEN) itu kemudian mencatat secara detail beberapa parameter ilmiah tentang kodok itu misalnya perilaku selama melakukan amfleksus.

Lahir di Biak, 14 September 1973 lalu, beliau telah melakukan publikasi herpetofauna ke dalam beberapa media di antaranya Jurnal Biologi Papua, Warta Herpetofauna Indonesia, RAP Bulletin, Prosiding Seminar Nasional, SAINS dan sebagainya. 

Nah, untuk tulisan perdana tentang hal-hal yang diamatinya tersebut, boleh kita simak di sini.

Lihat Bufo melanostictus di Yogyakarta, Tidak di Papua!