Jumat, 27 Februari 2015

Lihat Bufo melanostictus di Yogyakarta, Tidak di Papua!

Proses ampleksus kodok Bufo melanostictus pada malam hari di depan rumah kontrakan penulis di Yogyakarta (Foto: Aditya Krishar Karim).

Kodok jenis Bufo melanostictus Schneider, 1799 atau spesies dengan nama yang sering dipakai Duttaphrynus melanostictus Schneider, 1799, dimasukkan ke dalam famili Bufonidae. Kodok ini memiliki penyebaran yang cukup luas di Indonesia mulai dari Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, Sulawesi sampai di Papua dan Papua Nugini. Kodok ini cukup menarik dan memiliki nama yang banyak seperti bangkong kolong, kodok puru, kodok buduk (Jakarta), kodok berut (Jawa), kodok brama (Jawa untuk yang berwarna kemerahan), dan Asian black-spined toad, Common Indian Toad, Common Asian Toad (Inggris) (Iskandar, 1998; Menzies, 2006 ).

Kodok ini memiliki panjang antara 55-80 mm SVL untuk jantan dan 65-85 mm SVL untuk betina, berpenampilan gendut dan kulit yang kasar berbintil-bintil. Pada bagian kepala terdapat gigir keras (biasanya berwarna kehitaman) menonjol yang bersambungan mulai dari atas moncong; melewati atas, depan dan belakang mata hingga di atas timpanum (gendang telinga). Sepasang kelenjar parotoid (kelenjar racun) yang besar panjang terdapat di atas tengkuk (Iskandar, 1998). Sekresi kulit dan kelenjar granular dari katak ini menghasilkan beberapa senyawa bufadienolida, alkaloid, steroid, peptida dan protein, yang memiliki aktivitas biologi yang penting seperti antimikroba, anti kanker dan lain-lain (Bhattacharjee et al., 2011, Gomes et al., 2011).

Bagian punggung bervariasi warnanya antara coklat abu-abu gelap, kekuningan, kemerahan, sampai kehitaman. Terdapat bintil-bintil kasar di punggung dengan ujung kehitaman. Sisi bawah tubuh putih keabu-abuan, berbintil-bintil agak kasar. Telapak tangan dan kaki dengan warna hitam atau kehitaman, tanpa selaput renang, atau kaki dengan selaput renang yang sangat pendek (Iskandar, 1998).

Jenis ini terlihat sangat akrab dengan lingkungan tempat tinggal manusia. Makhluk ini sering terlihat di sekitar kos-kosan misalnya di dalam kamar mandi, teras rumah, bahkan masuk ke dalam rumah, di halaman, selokan dekat perumahan di sekitar perkampungan atau di kota-kota yang ada di Yogyakarta. Juga teramati di tempat-tempat keramaian seperti di sekitar mall-mall Malioboro. Dalam pengamatan sekitar wilayah kampus UGM, kodok puru ini sering terlihat melompat atau duduk termenung melihat aktivitas mahasiswa UGM yang begitu ramai baik pada siang hari atau malam hari. Keramaian kota Yogyakarta yang begitu padat tidak menjadi suatu masalah. Seolah-olah mereka berbaur dengan segala aktivitas manusia dan keramaian, walaupun beberapa ekor dijumpai mati tertabrak motor atau mobil di tengah jalan. Bahkan suatu ketika penulis sedang bersantap di rumah makan lesehan pinggir jalan, kodok tersebut juga teramati tanpa rasa takut. Mereka melompot-lompat dan berhenti sejenak menatapi kami dan melanjutkan perjalanannya entah ke mana. Selain itu, aktivitas ampleksus dari kodok ini dapat teramati pada saat hujan rintik, menjelang malam dekat rumah kontrakan kami di Yogyakarta, foto ini saya abadikan bersama anak saya Adiantha Putratama yang kala itu masih menjadi siswa di salah satu SD Negeri di Yogyakarta, sambil mengenalkan dan mengajarkannya tentang kodok ini.

Dilaporkan bahwa jenis ini merupakan kodok introduksi di Papua dan Papua Nugini (Menzies, 1976, 2006). Oleh karena itu, untuk menemukannya sangat sulit sekali dan sekarang memiliki penyebaran yang terbatas di wilayah Papua yaitu di daerah pesisir sekitar Manokwari (Kartikasari, dkk. 2012). Bahkan untuk wilayah Jayapura dan sekitarnya dari beberapa penelitian yang dilakukan mahasiswa kelompok Herpetologi Jurusan Biologi, FMIPA UNCEN tidak pernah masuk daftar sama sekali. Hal ini nampak berbeda di Yogyakarta, kodok ini mudah sekali dijumpai pada saat menjelang malam apalagi pada saat hujan rintik-rintik. Pertanyaannya, apakah para kodok jenis ini lebih senang tinggal di kota-kota yang ramai mengikuti pola hidup manusia yang suka mencari pekerjaan dan nafkah di kota-kota besar, dibandingkan tinggal di hutan-hutan tropis Papua yang tenang, aman dan damai?

Untuk itu, bagi para herpetologis atau peminat hewan-hewan herpetofauna yang belum pernah melihat jenis kodok ini, Kota Yogyakarta merupakan salah kota alternatif yang dapat dikunjungi selain melihat keindahan candi-candinya, tempat wisata dan keramaian kota ini juga dapat melihat jenis kodok yang memiliki persebaran yang unik tersebut.

Pustaka
Bhattacharjee, P, Giri, B, and Gomes, A. 2011. Apoptogenic Activity and Toxicity Studies of A Cytotoxic Protein (BMP1) from The Aqueous Extract of Common Indian toad (Bufo melanostictus Schneider) Skin. Toxicon. 57(2): 225-236.
Gomes, A., Giri, B., Alam, A., Mukherjee, S., Bhattacharjee, P and Gomes, A. 2011.  Anticancer Activity of A Low Immunogenic Protein Toxin (BMP1) from Indian Toad (Bufo melanostictus, Schneider) Skin Extract. Toxicon. 58(1): 85-92.
Iskandar, D.T. 1998. Amfibi Jawa dan Bali. Pustlitbang Biologi-LIPI. Bogor.
Menzies,  J. 1976.  Handbook of Common New Guinea Frogs. Wau Ecology Institute. PNG.
Menzies, J. 2006. The Frog of New Guinea and The Solomond Islands. Pensoft Publisher. Bulgaria.
Kartikasari, S.N., Marshall, A.J., and Beehler, B.M. (Eds). 2012. Ekologi Papua. Seri Ekologi Indonesia Jilid VI. Yayasan Obor Indonesia dan Conservation International. Jakarta.


Oleh Aditya Krishar Karim
(Laboratorium Zoologi, Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Cenderawasih, email : krisharkarim@yahoo.com)








Selasa, 24 Februari 2015

Siska Handayani

Banyak orang tak percaya bahwa Siska Handayani cenderung memiliki kesukaan memperhatikan amfibi & reptil. Gadis tamatan Dept. Biologi FMIPA USU ini sudah keluar masuk hutan demi bertemu satwa melata. Bahkan Siska sudah lebih banyak menaklukkan lokasi-lokasi ekstrim melebihi rata-rata yang dilakukan teman-temannya. Baginya hutan beserta isinya pada dasarnya adalah sebuah keindahan. Dengan minat yang semacam itu, lamban laun Siska mulai mengenali orang-orang yang tak kalah “gila” di bidang yang sama, seperti Mistar Kamsi.

Semenjak masuk perkuliahan tahun 2009 yang lalu, petualang kelahiran 15 Mei 1991 ini memasuki beberapa organisasi pecinta alam. Salah satunya adalah Biologi Pecinta Alam dan Studi Lingkungan Hidup (Biopalas) Dept. Biologi FMIPA USU. Di saat yang bersamaan, Siska juga mengurus perkumpulan pemerhati harimau, Tiger Heart dan menjadi pengurus di komunitas pemerhati amfibi dan reptil, Herpetologer Mania.

Dalam hal amfibi dan reptil (herpetofauna), Siska mengambil skripsi dengan obyek penelitian amfibi. Sebelumnya setiap kesempatan yang ada, Siska selalu memanfaatkan peluang kerja sama penelitian amfibi dan reptil hingga saat ini. 

Sudah banyak tulisannya dimuat di majalah Herpetologer Mania maupun media herpetofauna yang lain. Saatnya kita menyimak tulisannya agar kita tahu sesuatu amfibi dan reptil dari kacamatanya.


Dan kita tunggu tulisan-tulisannya berikutnya.








Rhacophorus barisani di Hutan Batangtoru, Beda-beda tapi Sama



Kawasan hutan Batang Toru Blok Barat memiliki stasiun pemantauan flora dan fauna yang dikenal dengan nama Camp Mayang seluas 12.000 ha. Kawasan ini termasuk kawasan hutan produksi yang dilaporkan memiliki keanekaragaman yang cukup menjanjikan. Tak jauh beda dengan hutan yang masih dalam kondisi baik di Sumatera, hutan ini masih memiliki harimau, orangutan, beruang madu, kucing batu dan tapir. Tak ketinggalan dengan Rafflesia gadutensis, Thismia sp. dan aneka macam anggrek menawan.

Yang lebih menantang lagi, di dalamnya ada beberapa gua dan air terjun. Namun itu tak bisa dikunjungi orang secara bebas. Lain halnya dengan fungsi ekologisnya, hutan ini menjadi penyangga 10 daerah aliran sungai terutama DAS Sipansipahoras yang menjadi sumber PLTA Sipansipahoras.

Habitat Rhacophorus barisani.
Menilik pentingnya kawasan ini, Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) telah mengkaji seharusnya kawasan Batang Toru sudah mulai dijadikan hutan lindung murni mengingat hutan tersebut berdasarkan SK Mentan nomor 847/1980 menunjukkan sebagian besar kawasan hutan Batangtoru masih tergolong hutan produksi dan area penggunaan lain.

Kenapa demikian penting? Saya mau melihatnya dari kacamata herpetofauna. Saya telah melakukan penelitian di kawasan ini selama tiga minggu lamanya. Catatan menunjukkan ada 15 jenis amfibi di dalam daftar. Salah satunya yang paling menarik adalah Rhacophorus barisani yang menurut beberapa catatan ahli merupakan amfibi endemik Bukit Barisan.

Secara morfologis, Rhacophorus barisani mirip dengan Rhacophorus baluensis. Perbedaannya terletak pada pola warna, habitat, jari dan morfologi pelengkap dermal (Harvey, 2002). Rhacophorus barisani ini memiliki beragam warna dan pola yang membuat kita terkecoh. Beragam warna tersebut mungkin dipengaruhi oleh cuaca dan suhu.

Rhacophorus barisani ini sering ditemukan di pinggiran sungai, pinggiran rawa yang menempel di daun atau ranting pepohonan yang tingginya bisa mencapai lebih kurang 4 meter. Katak pohon ini juga memiliki lompatan yang cukup jauh dari ranting pohon satu ke ranting yang lain. Lompatannya seperti sedang melakukan terjun payung.

Beberapa spesimen diambil untuk pengkajian ilmiah lebih lanjut.
Penelitian itu menyimpulkan, ada lima pola warna dan motif yang berbeda-beda. Sempat kami merasa terkecoh untuk menyimpulkan kesamaan jenisnya. Tapi lambat laun, tim memahami katak itu masuk dalam jenis yang sama. Kami merasa lebih yakin ketika Mistar Kamsi ikut dalam penelitian di minggu terakhir.

Saya yakin betul, masih banyak keanekaraman hayati yang belum dikenal di hutan Batang Toru, salah satunya dari kelompok amfibi. Keberadaan hutan ini semakin penting bagi flora dan fauna terutama untuk kesejahteraan manusia itu sendiri.

(Teks dan foto: Siska Handayani)










Minggu, 22 Februari 2015

Aulia Fajria


Aulia adalah seorang yang suka perpetualang. Dalam sebuah kesempatan, bersama teman-teman satu jurusan, Aulia Fajria mengunjungi resor Sei Betung yang berada dalam kawasan TNGL. Layaknya pinggiran sebuah taman nasional, anak kuliahan kelahiran Padang Panjang ini menemukan banyak ragam amfibi ketika melakukan pengamatan amfibi dan reptil.

Ada satu jenis yang membuatnya penasaran. Kataknya bermata merah dan beliau bingung harus menyebutnya dengan nama apa. Akhirnya karena tidak mau ambil pusing dipanggilnya saja itu dengan “si mata merah”. Usai melakukan metode pengenalan jenis terutama melakukan pemotretan, Aulia kemudian mencari cara mengidentifikasinya.


Di Dept. Biologi USU, tempat kuliahnya, sebenarnya mudah melakukan identifikasi dengan buku-buku yang sudah ada. Namun kepercayaan diri masih menyelimuti gadis kelahiran 2 November ini. Ikuti cerita penemuan katak yang akhirnya dikenal dengan nama ilmiah  Leptobrachium hendricksoni.

Simak tulisannya yang sudah terbit pada edisi kedua Herpetologer Mania
Kejutan Si Mata Merah

Dan kita tunggu tulisan-tulisannya yang lain untuk edisi-edisi berikutnya.

Kejutan Si Mata Merah

“Si Mata Merah”, itulah panggilan yang tepat yang sering kami lontarkan ketika bertemu dengan salah satu jenis amfibi yang tidak kami tahu nama sebenarnya. Jenis itu merupakan amfibi yang belum pernah kami lihat selama masuk dalam ranah amfibi.
 Pertemuan pertama ini lumayan mengesankan karena sebelumnya kami sedang berputus asa ketika belum menemukan apa-apa sejauh berjalan. Malam hari itu, tanpa ditemani staf berwenang, kami berenam (Inggin, Tari, Siti, Karina, Bang Khomar dan saya sendiri) menelusuri daerah sekitar pondok di daerah Resort Sei Betung yang berada dalam kawasan TNGL. Kami berniat mendata amfibi di daerah ini tanpa peralatan maksimal–hanya dengan cahaya senter yang pas-pasan.

Persiapan sebelum herping.
Cukup lama herping, seolah tak ada kehidupan amfibi di sini. Kami dihibur nyanyian jangkrik selama perjalanan. Mungkin saja amfibi tidak menyukai tempat ini karena miskin aliran air. Di sini kering dan hanya ada dedaunan mati bertumpuk-tumpuk namun ada onggokan air di dalam parit yang jika tak hujan akan kering juga.

Ketika kami ingin menyudahi kegiatan dan berbalik arah, si mata merah mencegat kami tepat pada jam 22.00 WIB hari Jumat, 8 Februari 2013 lalu. Dia seperti katak dari planet lain, soalnya matanya “bersinar merah” di kegelapan. Kelesuan kami berubah menjadi kegirangan. Semangat menyala tiba-tiba. Ketika kami ingin menangkapnya, sebelumnya kami terpesona dengan memperhatikan sekujur cirri-ciri tubuhnya–yang tidak kami kenali sedikit pun.

“Jenis baru!”, sorak salah seorang teman sambil mencoba untuk menggenggamnya. Kami yang juga polos untuk pengenalan jenis mengakui kebenaran itu. Misteri jenis ini menaikkan rasa antusias kami. Tak jadi pulang, kami kemudian melanjutkan kegiatan herping. Si mata merah seolah-olah membuka rekening list herpetofauna malam ini. Jenis demi jenis pun lalu kami dapatkan.

Biar tak larut di kegelapan hutan lebih lama, kami melanjutkan herping di sekitaran pondok  saja. Di sana si mata merah kembali menyapa kami. Perlu kami jelaskan bahwa keseluruhan tubuh si mata merah, matanyalah yang paling mencolok dengan mata besar berwarna merah keorenan menyala dan pinggiran berwarna biru. Katak ini memiliki kulit yang agak keras, tubuhnya berwarna coklat terlihat seperti mengilap. Garis-garis menghiasi ekstremitas depan dan belakangnya dan berukuran sekitar 8 cm dengan pergerakan sedikit lambat. Lebih lanjut kami mencoba mencari jenisnya di buku identifikasi panduan lapangan, kami belum menemukannya.

Ukuran Leptobrachium sp.
Si mata merah masih “mengolok-olok” rasa keinginantahuan kami. Rasa penasaran memicu kami untuk melakukan herping di tempat lain, tepatnya di perbatasan antara daerah TNGL dengan perkebunan sawit yang sangat banyak terdapat kubangan. Ternyata rasa penasaran kami disambut meriah oleh pasukan si mata merah. Banyak sekali kami menemukan kelompok itu di sini, yang disusul oleh jenis-jenis lainnya dari amfibi yang mendiami daerah tersebut. Suara riuh sahut menyahut seakan menyambut kedatangan kami, termasuk ular air pemangsa mereka. Melangkah lebih jauh, kami bersua lagi dengannya. Sepertinya mereka adalah penghuni terbanyak kawasan ini, sekitar 15 ekor pada jarak 500 m.

Esoknya penasaran itu kami tanyakan kepada staf kehutanan di sini maupun kakak senior yang mungkin lebih mengenal. Jawaban mereka belum memuaskan. Sampai akhirnya kami bertanya kepada yang lebih tahu pada grup Herpetologer Mania di Facebook. Ternyata yang selama ini kami panggil si mata merah adalah Leptobrachium sp. Hehehe, itu yang membuat kami penasaran.

(Teks & foto oleh Aulia Fajria)












Sabtu, 21 Februari 2015

Rahmad Agus Koto

Rahmad Agus Koto adalah seorang pemikir. Banyak hal yang ada dalam isi otaknya sehingga banyak juga waktu yang digunakannya untuk merenunginya. Bagi alumni mahasiswa Dept. Biologi FMIPA USU ini, alam terkembang jadi buku, apa yang dia lihat di depannya adalah sebuah pembelajaran.

Pria berdarah Minang ini memiliki prinsip soal hidup. Banyak aspek yang dia baca, lalu mempelajari, memahami dan mengamalkan sesuatunya sampai nafas terakhir. Selaras dengan itu, ayah dua anak ini suka membaca, menulis, mengamati perkembangan agama, filsafat, sosial budaya, politik, teknologi informasi, biologi, entrepreneurship dan fotografi.

Kesukaan yang disebut terakhir dan latar belakangnya sebagai alumni mahasiswa biologi mengantarkannya untuk membuat tulisan di majalah Herpetologer Mania edisi perdana tentang keindahan pola dan warna yang ada pada katak.

Mari kita simak tulisannya:
Indahnya Lukisan pada Katak

Dan tentunya kita tunggu tulisannya di edisi-edisi berikutnya.

Indahnya Lukisan pada Katak



Pola dan warna-warni adalah dua faktor yang menentukan indahnya suatu seni. Keterpaduan keduanya akan menentukan nilai suatu seni visualisasi. Seni ini lahir semenjak manusia diciptakan. Suatu karya seni yang indah dapat menyentuh hati dan pikiran, menghibur dan dapat menenangkan pikiran yang mumet dan hati yang gusar sehingga seni bagian yang membuat manusia memiliki kehidupan yang kaya.

Pablo Picasco mengatakan bahwa seni bertujuan untuk mencuci jiwa dari debu yang berasal dari kehidupan sehari-hari.

Suatu seni bisa tercipta dari rasa dan karya manusia, dan oleh "kesadaran" alam (nature). Kita dapat menyaksikan seni yang dikreasikan oleh alam. Media seni alam yang cukup dikenal terdapat pada kulit katak yang berwarna-warni. Wujud ekspresi “jiwa” seni alam.




































Sumber:

National Geographic
http://animals.nationalgeographic.com/animals/photos/poison-dart-frogs/

Colour Lovers
http://www.colourlovers.com/blog/2007/08/03/beautiful-color-in-nature-frogs-and-toads/

(Rahmad Agus Koto)

Jumat, 20 Februari 2015

Mahakarya Van Kampen


Banyak yang kita benci dari kolonialisme. Tapi kita mesti menyimpan kebencian itu dalam-dalam kalau itu menyangkut ilmu pengetahuan. Layaknya makhluk hidup yang tidak memiliki daerah kenegaraan, ilmu pengetahuan juga memiliki sifat yang hampir sama, terutama pengetahuan herpetologi.

Justru, peneliti amfibi dan reptil di Sumatera Utara dan Indonesia secara lebih luas boleh berterima kasih kepada seorang herpetolog berkebangsaan Belanda, Van Kampen. Buku terbitannya yang cukup fenomenal, The Amphibia of the Indo-Australian Archipelago sampai sekarang masih dijadikan rujukan penting untuk menelaah berbagai jenis amfibi di Indonesia, terutama di Sumatera Utara yang sedikit sekali bahan acuan yang dipercaya.

Prof. Dr. Pieter Nicolaas Van Kampen, lahir di Amsterdam pada tahun 1878 dan wafat tahun 1937 di  Leiden, kota di mana Leiden University berada, tempat kerjanya. Peneliti anak dari Nicolaas Godfried van Kampen dan Clara Helena Campagne ini dimulai dari tahun 1907 dalam eksplorasi timnya ke berbagai pulau yang dianggap penting, salah satunya Sumatera, jajahan negaranya.

Bisa dibayangkan bagaimana tim ini bekerja dalam bayang-bayang perlawanan pribumi yang terjajah waktu itu sebagaimana kegiatan herpetologi di hutan terbuka akan memiliki tantangan menarik. Termasuk hutan Sumatera masih diyakini memilki harimau Sumatera yang melimpah di balik mudahnya mengoleksi sampel tanpa ada izin yang kompleks di masa penjajahan. Berkat kesabaran dan keteladanannya, Van Kampen berhasil memberi nama internasional beberapa amfibi dan reptile di belahan bumi.

Di antara jenis yang berhasil dan diakui nama-nama jenis pemberiannya adalah Albericus variegatus (Van Kampen, 1923) Austrochaperina basipalmata (Van Kampen, 1906), Austrochaperina macrorhyncha (Van Kampen, 1906), Calluella volzi (Van Kampen, 1905), Hylarana debussyi (Van Kampen, 1910), Hylarana novaeguineae (Van Kampen, 1909), Hylarana persimilis (Van Kampen, 1923), Limnonectes microtympanum (Van Kampen, 1907), dan banyak jenis lainnya.

Bagi orang Sumatera, barang tentu mengenal Rana kampeni (kongkang macan Sumatera). Di samping warnanya yang kontras dan eksotik, jenis ini hanya dijumpai di Sumatera, alias endemik. Nama jenis “kampeni” diberikan oleh Boulenger sebagai penghargaan kepada naturalis sekaliber Van Kampen.

Karya pamungkasnya sekaligus mahakaryanya adalah buku The Amphibia of the Indo-Australian Archipelago yang dicetak pada tahun 1923. Sesuai namanya, cakupan buku tersebut meliputi wilayah Indo-Australia. Bukunya ini sekaligus menjadi pilihan utama untuk pengetahuan amfibi yang dulu tergantung pada tulisan-tulisan naturalis sebelumnya.

Untuk pulau Sumatera sendiri, Van Kampen mencatat ada 61 jenis amfibi yang ditemukan saat itu atau senilai 0,98% dari amfibi di dunia. Jumlah jenis tersebut senilai dengan daftar jenis di buku Mistar, Amfibi Gunung Leuser (2003).

Di samping sebagai referensi “jadul”, buku ini sangat menarik dikoleksi untuk memahami bagaimana proses penamaan jenis pada amfibi yang cukup dinamis. Misalnya Rhacophorus leucomystax saat ini lebih umum dikenal dengan Polypedates leucomystax. Bagi pecinta amfibi tentu kadang akan rindu dengan nama lama.

Panduan lapangan di Sumatera Utara khususnya tetaplah memakai buku terbitan E.J Brill Ltd, Leiden Belanda itu. Hanya karangan Mistar yang masih tetap andalan identifikasi sesuai dengan wilayah penelitiannya di Sumatera (Gunung Leuser). Sehingga ada kebutuhan “primer” untuk menelurkan buku sejenis dan kalau bisa hingga karangan mahakarya. Seperti semangat Prof. Dr. Pieter Nicolaas Van Kampen.

(Oleh Akhmad Junaedi Siregar, foto dari berbagai sumber)


Kamis, 19 Februari 2015

Eka Septayudha



Semenjak 2004 yang lalu, Eka Septayudha sudah menjadi bahagian dari perlindungan harimau bersama WWF Riau. Sebagai seorang yang memiliki keahlian memasang kamera, barang tentu beliau juga akan berhadapan dengan alam beserta isinya. Tak ketinggalan dengan amfibi dan reptil, lajang kelahiran Cilegon, 17 September 1984 ini mengamati herpetofauna di gubuk tempatnya mangkal. Apa yang beliau lihat sudah ditulisnya di majalah Herpetologer Mania edisi ketiga.

Simak tulisannya : 

Berbagi “Rumah” dengan Katak Pohon Bergaris

Polypedates leucomystax.

Selama ini, bagi kebanyakan orang ada anggapan bahwa untuk dapat menemukan jenis satwa liar, seseorang harus pergi ke dalam hutan. Padahal cukup dengan meluangkan waktu sebentar saja dengan melihat secara cermat di sekitar tempat tinggal, kita bisa menemukan beberapa jenis satwa tertentu dengan gampang di pekarangan. Salah satu kelompok satwa yang bisa ditemukan dengan mudah di sekitar rumah adalah jenis amfibi dan reptil atau yang secara ilmiah disebut herpetofauna.

Belakangan, jenis-jenis herpetofaunalah yang saya temukan di halaman rumah tempat tinggal saya dan kawan-kawan penggiat konservasi lingkungan. Di halaman rumah yang kami sebut dengan “pondok” yang berada di Perumahan Sidomulyo Jalan Rajawali 3 No. 37 Pekanbaru – Riau ini, saya menemukan beberapa katak pohon bergaris (Polypedates leucomystax). Katak ini sering terlihat antara akar dan dedaunan dari pohon dan semak yang sengaja dibiarkan tumbuh oleh pemiliknya di bagian. Dan tidak jarang pula saya temukan di atas peralatan yang digunakan untuk mengurus taman. Kataknya terkadang muncul di daun kering dan berkamuflase mengikuti warna dari tubuh mungilnya. Mereka bernyanyi merdu memecah kesunyian malam ketika selesai hujan turun. Seakan-akan si mungil itu ingin para penghuni pondok merindukan kemerduan suara itu.

Bufo melanostictus.
Katak pohon bergaris  yang sering teramati adalah jenis dengan pola punggung berkulit halus, tanpa lipatan, tonjolan atau bintil-bintil pada kulitnya. Warnanya coklat muda kekuningan, bentuknya yang mungil dan sedikit moncong menjadi daya tarik saya untuk mendokumentasikannya. Saya teringat dahulu katak ini biasanya saya temukan di sungai atau kubangan di hutan. Tapi kali ini saya justru menemukannya dengan mudah di samping rumah/pondok ini. Selain katak pohon bergaris, beberapa jenis lain yang mudah ditemukan di sini adalah Bufo spp, Mabouya sp. dan ular tambang (Dendrelapis pictus).


Salah satu ular di dekat penginapan.
Keberadaan beberapa jenis satwa dari kelompok herpetofauna di halaman pondok secara tidak langsung membuktikan bahwa manusia bisa hidup berdampingan dengan satwa liar. Halaman rumah bisa menjadi habitat kecil bagi keberadaan kelompok herpetofauna seperti yang saya temukan di sekitar pondok. Semua tergantung manusia apakah mau berdampingan atau bahkan hanya ingin menguasai kehidupan sendiri. Kalau ingin berdampingan, maka sisakanlah sedikit ruang untuk kehadiran mereka.

(Teks dan foto : Eka Septayudha --- WWF Riau)

Malangnya Telur-telur Reptil di Ladangku?

Dua telur reptil tertusuk akar runcing ilalang dan telur yang lain berada dalam ancaman serupa.




























Di penghujung April yang lalu, di ladang sempit yang saya kelola sendiri, keringatku mengucur deras mengayun cangkul. Ilalang (Imperata cilindrica) menusuk kakiku yang bertelanjang bulat. Saya ingin membalik tanah, menyuburkan tanaman, ingin mandiri dan memenuhi kebutuhan dasar sayur-sayuran dari tanah gersang itu.

Meski gersang, tapi kehidupan amfibi reptil masih saja kelihatan di sini. Bunglon, cicak, katak, ular dan kadal bukanlah sesuatu hal baru. Satwa-satwa itu menjalin hubungan yang baik dengan lingkungannya sebagai media untuk mencari makan, istirahat dan berbiak. Kedatangan saya sebagai petani boleh dianggap menjadi pendatang baru yang paling berkuasa. Saya ingin mengubah semuanya dengan keinginanku sendiri dengan memulai pembajakan tanah.

Seringkali saya melukai kadal (Mabuya multifasciata) yang bersembunyi di dalam tanah dan anak katak (Kaloula pulchra) yang beristirahat di siang hari. Yang tak kalah terkejut adalah ketika membalik sarang reptil di antara akar-akar ilalang yang rapat. Di situ ada sembilan telur dengan dua ukuran yang berbeda. Satu kelompok sebesar telur cicak dan satu lagi lebih kecil dan lebih muda. Bagi saya ini jenis telur yang meragukan, tapi karena sering melihat kadal di dalam tanah, kupikir ini adalah telurnya. Tapi kenapa ada dua ukuran yang berbeda jauh? Entahlah.

Bunglon kampung (Calotes versicolor) sedang bermain dengan pasangannya.
Hal yang paling menarik dari telur-telur itulah adalah ketika akar-akar ilalang menembus cangkangnya. Bagi saya ini termasuk keteledoran reptil dalam menyimpan telur-telur. Memang kelas reptil merupakan peralihan antara yang menjaga telur dengan yang tidak sama sekali. Ada beberapa jenis ular dan buaya yang melindungi telurnya, selebihnya mereka membiarkan telur itu bekerja sendiri dan dituntun alam. Beberapa kelas reptil memiliki fakta yang menarik, misalnya jenis kelamin dari telur kura-kura dipengaruhi oleh kehangatan dari lingkungan di sekelilingnya, bukan dari peleburan kromosom jantan betina sedari awal.

Ada satu kecenderungan menurut para ahli bahwa semakin kecil satwa, maka semakin banyak telur yang dihasilkan. Ini menggambarkan bahwa hewan yang kecil biasanya menjadi mangsa hewan besar, jadi harus banyak generasinya agar lestari. Hukum tersebut juga bisa dihubungkan dengan reptil yang tidak menjaga telurnya biasanya memiliki telur dengan jumlah relatif banyak ketimbang yang menjaga telurnya agar persen hidupnya terjaga.

Kejadian-kejadian seperti ini mungkin sedang lama terjadi. Di ladang kecil ini, reptil dewasa masih banyak seperti biasa. Jadi sebenarnya tak ada masalah berarti yang sedang terjadi. Cangkang telur yang ditembus akar ilalang adalah hal biasa. Bagian dari probabilitas alami. Mungkin saya saja yang kemaruk dari penemuan cangkang malang itu.

(Teks & foto oleh Akhmad Junaedi Siregar)


Selasa, 17 Februari 2015

Sensasi Motret Satwa Malam

Teks dan foto: Roy Ubaidillah Hasby*

Di antara kesibukan kita akan pekerjaan, muncullah beragam kendala seperti menumpuknya deadline pekerjaan, kemacetan kota yang sudah tidak bisa terbendung lagi untuk jalan keluarnya, beragam permasalahan perekonomian semakin hari semakin membuat kepala seakan ingin pecah, dan rumitnya keinginan manusia. Terkadang hal ini menimbulkan dampak negatif, yaitu stress. Apabila tingkatan stress pada individual sudah memuncak, kebanyakan sisi negatif berpikir manusia pun mulai tidak sejalur dengan kemauan hati dan nurani individualnya.

Banyak cara yang dilakukan masyarakat perkotaan tentunya untuk mengurangi dampak stress pada diri mereka, antara lain mereka menyempatkan diri mereka seperti pergi berlibur ke tempat-tempat rekreasi bersama keluarga. Selain itu, ada juga yang menyempatkan diri mereka untuk pergi melakukan beberapa aktifitas seperti pergi ke tempat-tempat hiburan malam. Namun yang paling langka dijumpai adalah pergi bermeditasi ke alam liar yang jauh dari hiruk-pikuknya perkotaan hanya guna untuk memotret satwa.

Memotret satwa di alamnya tentulah hal yang sangat jarang dilakukan di perkotaan seperti Jakarta. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya lahan hijau di ibukota dan menurun drastisnya satwa yang sangat sulit sekali perjumpaanya dengan kita tentunya. Bagi penduduk yang berdomisili di Jakarta sendiri, alternatif lain adalah dengan berlibur ke kawasan Bogor dan sekitarnya yang dapat mengapresiasikan meditasi kita dengan memadukan meditasi dan fotografi bersama satwa di alamnya.

Namun, terkadang masyarakat umum yang mengenal fotografi itu sendiri seakan kurang memahami fotografi satwa liar. Yang selalu menjadi polemik adalah, jika kita ingin terjun ke dunia fotografi alam liar tentulah harus memiliki perlengkapan kamera yang super mahal dengan beragam tipe. Termasuk dengan lensa super tele yang harganya membuat penggemar fotografi enggan untuk terjun ke dunia alam liar. Di dunia fotografi alam liar, tak haruslah kita memiliki perlengkapan super mahal dan banyak seperti anggapan umum itu. Cukup dengan menggunakan kamera DSLR atau pun poket pun kita dapat melakukan aktifitas super murah meriah dan bermanfaat.

Dengan bermodalkan niat, kesabaran dan juga kamera seadanya kita dapat memulai aktifitas alam. Paling menggoda adalah melakukan aktifitas fotografi malam hari. Peralatan senter atau pun head lamp sebagai penerangan, kamera, flash eksternal jika memiliki jika tidak ada bisa menggunakan internal flash dari kamera dan juga tripod tentunya, kita dapat berwisata dan berbaur dengan alam. Ada beberapa spot untuk melakukan fotografi satwa malam yang sangat memacu adrenalin kita. Salah satunya di kampung Loji Cijeruk, Bogor. Perjalanan dapat ditempuh menggunakan kendaraan roda empat dari Jakarta selama kurang lebih 1,5 jam melalui Ciawi. Hamparan persawahan di kaki bukit Gunung Salak sangatlah indah di kanan kiri perjalanan menuju lokasi. Saran terbaik untuk melakukan trip fotografi malam di lokasi ini adalah mengunjungi kawasan Loji dari Jakarta pada sore hari, sehingga setelah maghrib para fotografer dapat melakukan aktifitasnya langsung mengeksplor kawasan Loji pada malam hari. Satwa malam yang dapat dijumpa kebanyakan adalah microfauna, seperti aneka jenis siput, ngengat dan serangga lainnya. Sedangkan yang menjadi trend satwa fotografi malam di lokasi ini adalah beberapa jenis katak seperti Rana hosii (kongkang racun) atau katak pohon, serta katak tanduk. Satwa melata lain yangh dapat dijumpai di lokasi ini antara lain seperti bunglon, ular pucuk, ular siput, dan ular berbisa seperti green tree pit viper .

Tak hanya kaum lelaki saja yang mencintai fotografi dan mengikuti sensasinya memotret satwa pada malam hari. Namun dari kaum hawa pun, ada yang menyempatkan waktunya untuk berekspresi dengan satwa melalui rana cahaya.

Dengan media visualisasilah seharusnya kita mengagungkan karya yang maha Kuasa ini, dan tentunya tetap di alamnya. Bukan untuk dipelihara. Memang satwa-satwa pada malam hari kebanyakan memiliki keunikan luar biasa dibandingkan satwa-satwa yang mudah dijumpai pada siang hari. Namun, keunikan tersebut lebihlah indah berada tetap di alamnya. Kebanyakan satwa yang dapat kita eksekusi melalui kamera kita adalah herpetofauna. Secara etimologis, herpetofauna berasal dari bahasa Yunani, “herpeton” berarti melata dan “fauna” yang berarti binatang. Jadi herpetofauna adalah binatang-binatang yang melata. Herpetofauna sendiri memiliki ukuran tubuh yang bermacam-macam, namun memiliki keseragaman yaitu berdarah dingin (poikilotermik). Fauna ini menyesuaikan suhu tubuhnya dengan suhu lingkungannya. Kelompok ini diklasifikasikan menjadi 2 kelas yaitu, kelas amfibi dan reptil berdasarkan beberapa ciri yang berbeda dan mencolok. Kedua kelas herpetofauna tersebut dibagi-bagi lagi menjadi beberapa ordo yang kemudian akan berlanjut lagi ke famili.

Dari dua kategori reptil dan amfibi inilah kebanyakan dapat kita jumpai dengan mudah pada malam hari. Dan kelompok itu menjadikan fotografi malam menjadi sangat menarik. Caranya dengan berjalan menyusuri pinggiran sungai. Bermain dengan komposisi dan pencahayaan dalam lukisan cahaya sangatlah seru dan unik. Namun tentunya kita di sini juga memiliki keterbatasan dalam mengeksekusi mereka. Salah satunya memperhatikan perilaku satwa tersebut. Jika dirasa satwa tersebut sudah berada di titik stress, sebaiknya kita menghentikan pola pencahayaan yang mengarah ke arah mata satwa, seperti katak misalnya. Jika kita mengeksplor sebuah foto katak, dan terus dihajar dengan flash ekternal, pupil katak akan mengecil. Saat itu, sebaiknya diberikan jeda atau lebih baik kita mencari lagi jenis satwa lainnya.

Beberapa tips dalam memotret satwa malam antara lain:
  1. Sebaiknya kita menggunakan flash eksternal (speedlight), gunanya untuk membuat foto lebih berdimensi dalam proses pencahayaanya.
  2. Sebaiknya menggunakan mode manual. Manual dari setting-an kamera, kita akan lebih mengetahui keinginan akhir dari sebuah foto ketimbang menggunakan setting-an auto atau setting-an selain manual dari kamera. Dengan menggunakan bukaan F11 tentunya nampak belakang objek foto akan pekat dan objek depan akan lebih menonjol struktur warnanya. ISO yang kita gunakan adalah tidak lebih dari 320.
  3. Usahakan headlamp tidak berada di bagian kepala, kita takutkan satwa melata seperti ular yang berada di dahan pepohonan di atas kepala tidak sempat kita lihat akan membahayakan kita. Kewaspadaan tentunya diperlukan dalam memotret satwa pada malam hari.
  4. Usahakan menggunakan sepatu boat waterproof jika memungkinkan.
  5. Tetap selalu menggunakan jasa pemandu lokal di lokasi yang akan kita eksplor, Hal tersebut lebih baik ketimbang hanya dengan modal nekat sendiri.
  6. Seandainya satwa seperti amfibi dirasa kurang komposisinya karena keberadaanya kurang bagus misalnya, disarankan untuk memindahkan objek di sekitaran lokasi yang sekiranya kita dapat memperoleh sebuah komposisi foto yang bagus. Setelah foto barulah kita mengembalikan satwa tersebut ke posisi semula mereka berada.
  7. Maksimal fotografer tidak lebih dari 5–6 di lokasi yang sama di diameter jarak 10 meter. Dalam artian untuk setiap spotting disarankan untuk tidak banyak orang karena faktor kesulitan kita mendekati objek dan juga faktor lainya.

Dari catatan kecil di atas, setidaknya kita kelak dapat sedikit pengetahuan mengenai kehidupan satwa malam dan dapat mengabadikanya walau hanya dari kamera standar kita. Abadikanlah mereka dengan hati dan kesabaran. Sehingga kelak foto-foto tersebut dapat menceritakan kelak ke anak cucu kita bahwa satwa-satwa ini pernah ada di muka bumi Indonesia sebelum punah.

*leader photography Satwa liar; SatwaKU SatwaMu.com



Senin, 16 Februari 2015

Ganasnya Katak Betina


Perilaku lembut dan cantik tidak terlalu berlaku pada katak betina. Lagian katak betina tidak bisa dikatakan perempuan, mereka adalah betina. Perempuan dan betina berbeda karena hanya perempuanlah yang memiliki kelembutan dan kecantikan sedangkan betina belum tentu.

Pernyataan tersebut sangat mendasar ketika Sahabat Herpetologer Mania dua kali mencatat keganasan katak betina. Yang kita maksud adalah kanibalisme. Kejadian yang pertama adalah Oktober 2010, ketika Biologi Pecinta Alam dan Studi Lingkungan Hidup (Biopalas) FMIPA USU melakukan herping di Bumi Perkemahan Sibolangit. Waktu itu Sidahin Bangun menyaksikan langsung kongkang racun (Rana hosii) betina sedang berusaha menelan katak lain.

Kejadian pertama kemudian dipertegas dengan temuan Siska Handayani di Hutan Batang Toru tahun 2014 yang lalu. Beliau sempat mendokumentasikan jenis bangkong (Limnonectes blythii) sedang menikmati satwa sebangsanya. Dan katak yang ganas ini diterka juga adalah katak betina. Ada apa dengan katak betina?

Tidak banyak yang bisa kita jadikan sebagai alasan kecenderungan keganasan katak betina. Hanya saja ada beberapa pendapat yang bisa kita pertimbangkan bahwa kanibalisme itu bisa saja terjadi, terutama saat kekurangan makanan. Seperti yang diceritakan peternak ikan lele misalnya, makan dan dimakan antar ikan lele adalah sebuah kebiasaan. Pada kasus ikan lele, kejadian tersebut terjadi kalau ada individu yang bukaan mulutnya bisa menelan individu yang berpostur lebih kecil.

Dunia katak memiliki hukum soal ukuran badan jantan dan betina. Betina cenderung lebih besar dibanding jantan. Betina secara evolutif harus bertubuh besar agar dapat menyimpan telur lebih banyak. Kecenderungan tersebut dianggap agar reproduksinya tinggi sehingga meningkatkan persentase keselamatan generasinya yang sampai menjadi dewasa.  

Ukuran katak betina yang besar memungkinkannya untuk mengkanibal katak yang kecil. Soal apakah katak yang dimakan tersebut dari jenis yang sama, sayangnya belum bisa dipastikan karena penemu dua kejadian tadi tidak mengganggu hajatan si katak yang sedang bersantap.

Di samping kanibalisme ada lagi pola makan aneh yang dicatat Herpetologer Mania. Dua di antaranya adalah ketika pacet berada di mulut kongkang racun jantan. Timbul pertanyaan, siapa memangsa siapa? Yang kedua adalah ketika kongkang jeram sumatera (Huia sumatrana), dimangsa laba-laba. Apakah ini sebuah jaring-jaring makanan terbalik?


Ini semua adalah sunatullah. Kita sebaiknya mencatatnya. Kelak anak cucu kita akan tahu bahwa katak betina memang akan tidak sama dengan sifat perempuan yang lembut dan cantik.

(Akhmad Junaedi Siregar, foto: Sidahin Bangun dan Siska Handayani)