Senin, 08 Oktober 2012

Fotografer Terkesima dengan Katak-katak di Bumper



Ilmu fotografi belakangan ini yang mulai monoton dengan objek-objeknya kemudian mereka mencari tantangan-tantangan baru. Fotografer mulai bosan dengan modeling, wedding, lanskap, bahkan jurnalistik dalam pelatihan-pelatihan fotografi. Ketika mengetahui Komunitas Herpetologer Mania memiliki objek baru sebagai “model” foto, beberapa anggota Kelas Fotografi Andi Lubis (KFAL) lantas menyiapkan peralatan penuh untuk fotografi malam itu.

Bumi Perkemahan (Bumper) Sibolangit menjadi pilihan lokasi untuk hunting yang dilakukan Senin, 08 Oktober 2012 itu. Di samping lokasinya tidak memakan waktu lebih dari 1,5 jam dari Kota Medan, daerah ini nyaman dijalani karena tidak banyak jelatang maupun pacet seperti di daerah lain. Begitu juga dengan jumlah jenis amfibi dan reptil (herpetofauna) relatif menghibur sebagaimana data Biopalas, jumlah jenis amfibi dan reptil yang mereka data di lokasi ini hampir mendekati 40 jenis.

“Pemotretan ini sangat mengasyikkan. Kayaknya katak-katak itu bisa menjadi model yang bagus dan memiliki tekstur warna yang khas,” komentar Andi Lubis, pengelola KFAL.

Menurutnya tidak sulit memotret katak dan reptil lainnya karena objek hidup itu dapat didekati hingga setengah meter. Dengan peralatan seperlunya saja, amfibi dan reptil akan menjadi objek yang menarik.

“Rasanya kami tidak perlu membawa tas dan peralatan maksimum. Cukup lensa dan baterai sesuai kebutuhan saja. Ini adalah pengalaman pertama yang mengasikkan buat kami. Tentunya kami akan kembali dengan kegiatan serupa,” Andi Lubis menambahi.

Jenis yang berhasil ditemukan antara lain Bufo juxtasper, Leptophryne borbonica, Rana hosii, Rana debussyi, Rana kampeni, Huia sumatrana, Occidoziga lima, dan Cyrtodactylus lateralis. Pola warna kulit katak tersebut semakin indah dengan lighting yang pas oleh fotografer.

Kamis, 04 Oktober 2012

Segera Terbit Majalah Herpetologer Mania



Salam herpetologi!

Dunia ini memang edan. Karena perut sejengkal apapun dilakukan. Hal ini yang mendasari kelangkaan amfibi dan reptil di dunia. Kemudian adanya keserakahan di mana ada saja yang hobi menyimpan bagian-bagian amfibi dan reptile di rumahnya. Atau memelihara dan “sur” sendiri bahwa amfibi dan reptil akan senang bersama kemewahan kandangnya. Padahal tidak sama sekali.

Pembaca, Herpetologer Mania News adalah media kecil yang dibuat orang-orang kecil. Mereka tergabung dalam komunitas Herpetologer Mania yang dibentuk 27 Mei 2012 yang lalu. Media ini didukung penuh oleh Biologi Pecinta Alam dan Studi Lingkungan Hidup (BIOPALAS) Departemen Biologi FMIPA USU. Tujuannya pun sebenarnya adalah media yang bisa menampung berita seputar kegiatan herpetologi  khususnya di Sumatera meskipun tidak menutup berita di luar Sumatera.

Terbit sekali dalam tiga bulan, Herpetologer Mania News berusaha menstimulasi sahabat-sahabat herpetologi untuk belajar, menggiatkan ke lapangan, kampanye dan pemberi informasi seputar dunia amfibi dan reptil. Oleh karena itu, muatan media ini dirancang dengan tulisan ringan agar bisa dibaca anak sekolah hingga mereka yang expert di bidangnya.

Sebagai perkenalan pertama untuk edisi 1 yang terbit 20 halaman, redaksi menyiapkan artikel tentang kegiatan herping yang dilakukan teman-teman BIOPALAS di Bumi Perkemahan (Bumper) ke Sibolangit, penangkaran ular oleh Hetts Bio Lestari, sosok tokoh Van Kampen dan tulisan menarik lainnya. Dan terakhir redaksi akan selalu menghimbau kepada semua, agar tidak memelihara amfibi dan reptil untuk kesenangan, karena kesenangan itu dapat dilunasi dengan kegiatan fotografi.


Selamat membaca!


Redaksi.

Cicak dan Orang Batak

Oleh Akhmad Junaedi Siregar, sumber insidesumatera.com

Tidak menarik pergi ke Arab atau Jawa untuk membicarakan cicak. Apalagi kalau terseret-seret ke ranah politik dan hukum, jelas cicak selalu teraniaya oleh buaya. Ke Tanah Batak, baru kita mendapatkan suatu makna.

Di Arab, orang mulai tidak menyukai cicak saat Nabi Ibrahim dibakar oleh Namrudz. Konon, cicak adalah satu-satunya satwa yang berdiam diri sewaktu nabi dilalap si jago merah. Sedangkan semua hewan lain berusaha penuh memadamkan api.

Untuk kedua kalinya, waktu Nabi Muhammad dikejar oleh kaum musyrikin ke Gua Hira di mana nabi bersembunyi. Cicak memberitahu pasukan pengejar bahwa ada orang di dalam gua itu. Kekecewaan kedua itu membuat cicak menerima gelar fuwaisiqa yang berarti si kecil yang fasiq. Sial pula, dalam mitos-mitos Jawa, kejatuhan cicak diartikan sebagai malapetaka. Bila cicak jatuh, maka penghuni rumah akan tertimpa musibah.

Kalau tahu masalahnya, mungkin cicak sedunia akan bermigrasi ke Tanah Batak. Di masyarakat ini, cicak punya kedudukan istimewa, yaitu salah satu simbol penting orang Batak. Anda dapat melihatnya di bagian depan ruma bolon, rumah adat Batak. Pahatan mirip cicak itu memberi makna yang dalam, bahwa anak-anak Batak adalah orang yang lihai bergaul dan bisa hidup di mana saja.

Batak ibarat cicak, bisa tinggal di rumah siapa saja. Mampu berdiri tengkurap dan telungkup di lantai, dinding sampai atap. Dalam cengkeraman kucing pun cicak bisa meloloskan diri dengan melepas umpan ekor pengelabu. Batak cukup yakin dengan prestasi cicak, terutama Batak Toba, Simalungun, Karo dan Pakpak. Namun tidak buat Mandailing dan Angkola, pada bagas godang mereka tidak ditemukan lambang cicak.

Lebih jelasnya, potret sosial pergaulan Batak dapat ditonton dalam film sutradara Ponti Gea berjudul Anak Sasada. Dalam cerita, Sabungan (pemeran utama) kerap memperoleh bantuan orang-orang Batak di sekitarnya karena kelihaian tarombo-nya. Teman jauh bisa jadi teman dekat setelah menelusuri kekeluargaan.

Manifestasi cicak diwujudkan dalam lukisan atau pahatan dalam rumah Batak. Pahatan itu dikenal dengan sebutan gorga boras pati. Konon, cicak selalu menghadap empat payudara. Masing-masing payudara memiliki arti penting. Payudara pertama melambangkan kesucian, kedua melambangkan kesetiaan, ketiga lambang kekayaan dan terakhir adalah simbol kesuburan wanita. Pasangan gorga boras pati dan adop-adop (payudara) dapat diartikan sebagai hagabeon atau hamoraon. Gorga sendiri selalu diwujudkan dalam tiga warna, yakni merah, putih dan hitam.

Tidak hanya sebatas itu, beberapa mitos cicak juga menyelimuti Batak. Semakin sering cicak muncul, itu menandakan tanam-tanaman akan tumbuh subur dan panen akan berhasil. Tambahan bagi Batak Simalungun, gorga boras pati diyakini sebagai pagar rumah penangkal makhluk jahat. Sebagian orang Batak juga percaya bahwa cicak dapat dijadikan obat ternak. Lembu, kambing, kerbau maupun babi disuruh makan cicak. Cicak dipercaya mujarab menyembuhkan penyakit benjol-benjol di tubuh ternak.

Satu lagi, sebenarnya sifat cicak yang terlupakan oleh suku Batak adalah suara kerasnya. Cicak ternyata reptil paling nyaring bunyinya. Reptil pada umumnya tidak bersuara, bahkan ular dan buaya hanya mampu berdesis. Di mana-mana, orang Batak dikenal berdialek keras, bahkan dianggap sebagai dialek paling keras se-Indonesia. Itu artinya, tidak ada yang disembunyi-sembunyikan di hati seorang Batak.

Mari melihat cicak dari gabungan kacamata Batak dan sains. Masyarakat Batak masih melihat cicak secara umum. Karena itu, Batak melahirkan beberapa pertanyaan
bagi sains. Jenis cicak manakah yang menjadi simbolnya Batak?

Secara taksonomi, ada sembilan marga cicak-cicakan yang diketahui hidup di Sumatera. Namun Gekko, Cyrtodactylus dan Hemidactylus adalah marga yang patut dicurigai sekaligus menjadi nominasi simbol Batak. Berdasarkan petunjuk bahwa cicak batak hidup di berbagai rumah, maka sains dapat menolong mengerucutkannya menjadi dua marga yakni Gekko dan Hemidactylus.

Jika merujuk ke ukuran gorga boras pati yang cukup besar, kita akan menyutujui Gekko sebagai inspirasinya. Menilik kemunculannya yang jarang, kita bisa berspekulasi ke marga Gekko atau Cyrtodactylus. Namun dari toleransi hidup, kita akan merapat ke marga Hemidactylus. Di antara enam spesies yang ada di Sunda Besar, dengan gampang kita akan menunjuk jenis  Hemidactylus frenatus (cicak rumah). Tapi kita tidak pernah mengetahui jenis cicak batak yang sebenarnya karena perihal spesies cicak itu belum pernah dibicarakan secara ilmiah.

Membicarakan jenis cicak di dalam pikiran Batak, kita akan sampai ke dalam kolam spekulasi. Merenungkannya secara simbolik, kita kehilangan sisi ilmiahnya. Mendekatinya secara ilmiah, kita kehilangan daya magisnya. Tapi yang jelas, cicak ada di hati orang Batak, suku yang pandai bergaul, dan bisa hidup di rumah siapa saja. Seperti cicak.