Senin, 05 November 2012

Majalah Herpetologer Mania Akhirnya Di-launching



Setelah hampir sebulan proses pematangan, Majalah Herpetolonger Mania akhirnya di-launching di Sekretariat Bersama Himpunan Mahasiswa Biologi (Himabio) USU dan Biologi Pecinta Alam dan Studi Lingkungan Hidup (Biopalas) Dept Biologi di Gedung Unit VII Lt 2 FMIPA USU, Senin, 05 Nopember 2012.

Launching dengan pemotongan kue bergambar katak tersebut diresmikan oleh Ketua Departemen Biologi FMIPA USU sekaligus pembimbing Majalah Herpetologer Mania, Ibu Nursahara Pasaribu. “Masyarakat biologi memiliki bidang kajian masing-masing yang disukainya. Di antaranya yang cukup ramai terlihat adalah pecinta amfibi dan reptil sehingga kita bisa berkumpul di ruangan ini. Apapun bidang di sini, pastilah departemen mendukung semampunya,” kata Bu Nur, nama akrab panggilan mahasiswanya.

Majalah Herpetologer Mania adalah majalah kecil yang terbit pertama kali di Sumatera yang mengkhususkan bidang liputannya pada seputar herpetofauna. Majalah digital tersebut terbit sebanyak 20 halaman dan diterbitkan secara reguler setiap tiga bulan sekali.

“Setahu saya, produk ini bermula dari grup kecil di facebook bernama Herpetologer Mania. Karena peminatnya banyak, sekelompok yang tertarik – kesemuanya anak Biopalas – menginginkan komunitas yang lebih nyata. Oleh karena itu, Herpetologer Mania boleh dikatakan adalah produk murni anak-anak biologi USU,” terang Giyanto, pendiri Biopalas.

Lebih lanjut Giyanto mengharapkan agar Majalah Herpetologer Mania akan eksis ke depan. Majalah Herpetologer Mania memiliki tantangan berat karena hanya mempunyai skup liputan yang sempit. Untuk itu, diharapkan keterlibatan dari semua redaksi dan Sahabat Herpetologer untuk menumpahkan ide yang ada di pikiran masing-masing sehingga isu di Herpetologer Mania tidak bosan-bosan dan basi.

Perlu diperbanyak cara pandang dalam melihat amfibi dan reptil agar menjadi isu menarik di mata pembaca. “Banyak yang belum kita ketahui tentang amfibi dan reptil. Limnonectes blythii adalah makanan orang Karo. Juga bagaimana patung katak bertanduk bisa ada di Simpang Sembahe padahal penduduk yang ditanya mengaku tidak mengenal katak tanduk,” terang Junaedi Siregar tentang bahasan liputan potensial berikutnya.

Boy Sandi, Ketua Umum Biopalas mengatakan dukungannya terhadap kegiatan-kegiatan Herpetologer Mania yang selaras dengan kegiatan Biopalas. “Kami akan siap membantu pada beberapa kesempatan dan tentunya kami akan senang jika ambil bagian dalam mengisi rubrik di majalah tersebut,” sambut Boy Sandi.

Hadir dalam acara Ketua Departemen Biologi FMIPA USU, Dewan Pendiri Biopalas, Anggota Luar Biasa Biopalas, Badan Pengurus Harian (BPH) Biopalas, relawan Biopalas dan segenap redaksi Majalah Herpetologer Mania. Pada kesempatan itu, peserta juga memakai jersey Herpetologer Mania sebagai media keakraban sesama pecinta amfibi dan reptil sekaligus peran dalam penggalangan dana kegiatan herping selanjutnya.

Untuk mendapatkan majalah digital tersebut, Anda dapat mengunjungi blog herpetologermania.blogspot.com atau meminta langsung ke redaksi ke imel herpetologermania@yahoo.com. (AJS – Herpetologer Mania)


Jumat, 02 November 2012

Biopalas dan Herpetologer Mania Herping Bersama DAAI TV



Dunia amfibi dan reptil semakin hari semakin menarik. Di Sumatera Utara kegiatan herping (pengamatan amfibi dan reptil) dinilai semakin berkembang. Pesertanya tidak lagi peneliti di kalangan biologi – khususnya Biologi USU, namun sudah merambah ke kalangan fotografi dan siswa.

Untuk menjangkau kalangan yang lebih luas, Biopalas (Biologi Pecinta Alam dan Studi Lingkungan Hidup) Dept Biologi FMIPA USU, Herpetologer Mania dan Kelas Fotografi Andi Lubis (KFAL) melakukan herping bersama salah satu stasiun ternama, DAAI TV di Bumi Perkemahan Sibolangit, Kamis 1 Nopember 2012. Kegiatan tersebut merupakan salah satu program Biopalas dan Herpetologer Mania untuk kampanye pengenalan herpetofauna ke kalangan umum.

“Biopalas berdiri atas prakarsa mahasiswa Biologi yang memiliki minat khusus dalam penelitian sebagai aksi mencintai alam. Berdiri pada tahun 1998, Biopalas telah banyak melakukan penelitian di antaranya survei mentok rimba di Dairi, pengamatan burung air di Deli Serdang, penanaman bakau dan eksplorasi herpetofauna di banyak lokasi,” jelas Nursahara Pasaribu, Ketua Dept Biologi FMIPA USU saat diwawancarai reporter DAAI TV.

Ketertarikan terhadap amfibi dan reptil terlihat semakin nyata. Kelas Fotografi Andi Lubis sendiri telah mengikuti kegiatan edukatif tersebut selama tiga kali. “Kami sebagai fotografer yang biasanya mencari objek foto yang menarik telah menemukan tantangan baru. Foto model hampir terasa hambar karena kami telah menggelutinya beberapa tahun. Amfibi dan reptil memberikan kami model baru yang kami sukai. Bagi kami, herping photography tidak hanya amfibi dan reptil, kami juga sedang melakukan hiking yang menyehatkan,” kata Faisal Reza, salah satu anggota KFAL kepada DAAI TV usai herping.

Biopalas dan Herpetologer Mania dinilai telah membuat amfibi dan reptil menjadi menarik. Kedua organisasi tersebut dapat memberikan informasi  bagi kalangan yang membutuhkan. Ternyata mereka yang mulai mengenali herpetofauna cenderung akan semakin tertarik lagi seiring peningkatan pengetahuannya tentang kedua kelas hewan melata itu. Bak kata pepatah, tak kenal maka tak sayang.

Di samping itu, alumni Biopalas yang tidak aktif lagi di organisasi telah banyak bekerja di bagian lingkungan. Sebagian dari mereka juga membentuk komunitas baru seperti Herpetologer Mania, yakni komunitas yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi, tukar pikiran, kampanye, penelitian dan konservasi seputar amfibi dan reptil.

Pengambilan gambar oleh DAAI TV memiliki latar belakang Universitas Sumatera Utara dan Bumi Perkemahan Sibolangit. Liputan tersebut masuk dalam rubrik Bingkai Sumatera DAAI TV.

Jenis herpetofauna yang didata pada pengamatan bersama tersebut antara lain Rana kampeni, Rana debussyi, Rana chalconota, Rana hosii, Bufo melanostictus dan Fejervarya cancrivora. (AJS – Herpetologer Mania)


Senin, 08 Oktober 2012

Fotografer Terkesima dengan Katak-katak di Bumper



Ilmu fotografi belakangan ini yang mulai monoton dengan objek-objeknya kemudian mereka mencari tantangan-tantangan baru. Fotografer mulai bosan dengan modeling, wedding, lanskap, bahkan jurnalistik dalam pelatihan-pelatihan fotografi. Ketika mengetahui Komunitas Herpetologer Mania memiliki objek baru sebagai “model” foto, beberapa anggota Kelas Fotografi Andi Lubis (KFAL) lantas menyiapkan peralatan penuh untuk fotografi malam itu.

Bumi Perkemahan (Bumper) Sibolangit menjadi pilihan lokasi untuk hunting yang dilakukan Senin, 08 Oktober 2012 itu. Di samping lokasinya tidak memakan waktu lebih dari 1,5 jam dari Kota Medan, daerah ini nyaman dijalani karena tidak banyak jelatang maupun pacet seperti di daerah lain. Begitu juga dengan jumlah jenis amfibi dan reptil (herpetofauna) relatif menghibur sebagaimana data Biopalas, jumlah jenis amfibi dan reptil yang mereka data di lokasi ini hampir mendekati 40 jenis.

“Pemotretan ini sangat mengasyikkan. Kayaknya katak-katak itu bisa menjadi model yang bagus dan memiliki tekstur warna yang khas,” komentar Andi Lubis, pengelola KFAL.

Menurutnya tidak sulit memotret katak dan reptil lainnya karena objek hidup itu dapat didekati hingga setengah meter. Dengan peralatan seperlunya saja, amfibi dan reptil akan menjadi objek yang menarik.

“Rasanya kami tidak perlu membawa tas dan peralatan maksimum. Cukup lensa dan baterai sesuai kebutuhan saja. Ini adalah pengalaman pertama yang mengasikkan buat kami. Tentunya kami akan kembali dengan kegiatan serupa,” Andi Lubis menambahi.

Jenis yang berhasil ditemukan antara lain Bufo juxtasper, Leptophryne borbonica, Rana hosii, Rana debussyi, Rana kampeni, Huia sumatrana, Occidoziga lima, dan Cyrtodactylus lateralis. Pola warna kulit katak tersebut semakin indah dengan lighting yang pas oleh fotografer.

Kamis, 04 Oktober 2012

Segera Terbit Majalah Herpetologer Mania



Salam herpetologi!

Dunia ini memang edan. Karena perut sejengkal apapun dilakukan. Hal ini yang mendasari kelangkaan amfibi dan reptil di dunia. Kemudian adanya keserakahan di mana ada saja yang hobi menyimpan bagian-bagian amfibi dan reptile di rumahnya. Atau memelihara dan “sur” sendiri bahwa amfibi dan reptil akan senang bersama kemewahan kandangnya. Padahal tidak sama sekali.

Pembaca, Herpetologer Mania News adalah media kecil yang dibuat orang-orang kecil. Mereka tergabung dalam komunitas Herpetologer Mania yang dibentuk 27 Mei 2012 yang lalu. Media ini didukung penuh oleh Biologi Pecinta Alam dan Studi Lingkungan Hidup (BIOPALAS) Departemen Biologi FMIPA USU. Tujuannya pun sebenarnya adalah media yang bisa menampung berita seputar kegiatan herpetologi  khususnya di Sumatera meskipun tidak menutup berita di luar Sumatera.

Terbit sekali dalam tiga bulan, Herpetologer Mania News berusaha menstimulasi sahabat-sahabat herpetologi untuk belajar, menggiatkan ke lapangan, kampanye dan pemberi informasi seputar dunia amfibi dan reptil. Oleh karena itu, muatan media ini dirancang dengan tulisan ringan agar bisa dibaca anak sekolah hingga mereka yang expert di bidangnya.

Sebagai perkenalan pertama untuk edisi 1 yang terbit 20 halaman, redaksi menyiapkan artikel tentang kegiatan herping yang dilakukan teman-teman BIOPALAS di Bumi Perkemahan (Bumper) ke Sibolangit, penangkaran ular oleh Hetts Bio Lestari, sosok tokoh Van Kampen dan tulisan menarik lainnya. Dan terakhir redaksi akan selalu menghimbau kepada semua, agar tidak memelihara amfibi dan reptil untuk kesenangan, karena kesenangan itu dapat dilunasi dengan kegiatan fotografi.


Selamat membaca!


Redaksi.

Cicak dan Orang Batak

Oleh Akhmad Junaedi Siregar, sumber insidesumatera.com

Tidak menarik pergi ke Arab atau Jawa untuk membicarakan cicak. Apalagi kalau terseret-seret ke ranah politik dan hukum, jelas cicak selalu teraniaya oleh buaya. Ke Tanah Batak, baru kita mendapatkan suatu makna.

Di Arab, orang mulai tidak menyukai cicak saat Nabi Ibrahim dibakar oleh Namrudz. Konon, cicak adalah satu-satunya satwa yang berdiam diri sewaktu nabi dilalap si jago merah. Sedangkan semua hewan lain berusaha penuh memadamkan api.

Untuk kedua kalinya, waktu Nabi Muhammad dikejar oleh kaum musyrikin ke Gua Hira di mana nabi bersembunyi. Cicak memberitahu pasukan pengejar bahwa ada orang di dalam gua itu. Kekecewaan kedua itu membuat cicak menerima gelar fuwaisiqa yang berarti si kecil yang fasiq. Sial pula, dalam mitos-mitos Jawa, kejatuhan cicak diartikan sebagai malapetaka. Bila cicak jatuh, maka penghuni rumah akan tertimpa musibah.

Kalau tahu masalahnya, mungkin cicak sedunia akan bermigrasi ke Tanah Batak. Di masyarakat ini, cicak punya kedudukan istimewa, yaitu salah satu simbol penting orang Batak. Anda dapat melihatnya di bagian depan ruma bolon, rumah adat Batak. Pahatan mirip cicak itu memberi makna yang dalam, bahwa anak-anak Batak adalah orang yang lihai bergaul dan bisa hidup di mana saja.

Batak ibarat cicak, bisa tinggal di rumah siapa saja. Mampu berdiri tengkurap dan telungkup di lantai, dinding sampai atap. Dalam cengkeraman kucing pun cicak bisa meloloskan diri dengan melepas umpan ekor pengelabu. Batak cukup yakin dengan prestasi cicak, terutama Batak Toba, Simalungun, Karo dan Pakpak. Namun tidak buat Mandailing dan Angkola, pada bagas godang mereka tidak ditemukan lambang cicak.

Lebih jelasnya, potret sosial pergaulan Batak dapat ditonton dalam film sutradara Ponti Gea berjudul Anak Sasada. Dalam cerita, Sabungan (pemeran utama) kerap memperoleh bantuan orang-orang Batak di sekitarnya karena kelihaian tarombo-nya. Teman jauh bisa jadi teman dekat setelah menelusuri kekeluargaan.

Manifestasi cicak diwujudkan dalam lukisan atau pahatan dalam rumah Batak. Pahatan itu dikenal dengan sebutan gorga boras pati. Konon, cicak selalu menghadap empat payudara. Masing-masing payudara memiliki arti penting. Payudara pertama melambangkan kesucian, kedua melambangkan kesetiaan, ketiga lambang kekayaan dan terakhir adalah simbol kesuburan wanita. Pasangan gorga boras pati dan adop-adop (payudara) dapat diartikan sebagai hagabeon atau hamoraon. Gorga sendiri selalu diwujudkan dalam tiga warna, yakni merah, putih dan hitam.

Tidak hanya sebatas itu, beberapa mitos cicak juga menyelimuti Batak. Semakin sering cicak muncul, itu menandakan tanam-tanaman akan tumbuh subur dan panen akan berhasil. Tambahan bagi Batak Simalungun, gorga boras pati diyakini sebagai pagar rumah penangkal makhluk jahat. Sebagian orang Batak juga percaya bahwa cicak dapat dijadikan obat ternak. Lembu, kambing, kerbau maupun babi disuruh makan cicak. Cicak dipercaya mujarab menyembuhkan penyakit benjol-benjol di tubuh ternak.

Satu lagi, sebenarnya sifat cicak yang terlupakan oleh suku Batak adalah suara kerasnya. Cicak ternyata reptil paling nyaring bunyinya. Reptil pada umumnya tidak bersuara, bahkan ular dan buaya hanya mampu berdesis. Di mana-mana, orang Batak dikenal berdialek keras, bahkan dianggap sebagai dialek paling keras se-Indonesia. Itu artinya, tidak ada yang disembunyi-sembunyikan di hati seorang Batak.

Mari melihat cicak dari gabungan kacamata Batak dan sains. Masyarakat Batak masih melihat cicak secara umum. Karena itu, Batak melahirkan beberapa pertanyaan
bagi sains. Jenis cicak manakah yang menjadi simbolnya Batak?

Secara taksonomi, ada sembilan marga cicak-cicakan yang diketahui hidup di Sumatera. Namun Gekko, Cyrtodactylus dan Hemidactylus adalah marga yang patut dicurigai sekaligus menjadi nominasi simbol Batak. Berdasarkan petunjuk bahwa cicak batak hidup di berbagai rumah, maka sains dapat menolong mengerucutkannya menjadi dua marga yakni Gekko dan Hemidactylus.

Jika merujuk ke ukuran gorga boras pati yang cukup besar, kita akan menyutujui Gekko sebagai inspirasinya. Menilik kemunculannya yang jarang, kita bisa berspekulasi ke marga Gekko atau Cyrtodactylus. Namun dari toleransi hidup, kita akan merapat ke marga Hemidactylus. Di antara enam spesies yang ada di Sunda Besar, dengan gampang kita akan menunjuk jenis  Hemidactylus frenatus (cicak rumah). Tapi kita tidak pernah mengetahui jenis cicak batak yang sebenarnya karena perihal spesies cicak itu belum pernah dibicarakan secara ilmiah.

Membicarakan jenis cicak di dalam pikiran Batak, kita akan sampai ke dalam kolam spekulasi. Merenungkannya secara simbolik, kita kehilangan sisi ilmiahnya. Mendekatinya secara ilmiah, kita kehilangan daya magisnya. Tapi yang jelas, cicak ada di hati orang Batak, suku yang pandai bergaul, dan bisa hidup di rumah siapa saja. Seperti cicak.

Kamis, 09 Agustus 2012

Evolusi Kura-kura Remuk di Tepi Jalan


Oleh Akhmad Junaedi Siregar
Foto-foto oleh Akhmad Junaedi Siregar

Pembangunan selalu menghadirkan dampak positif dan negatif. Sesuatu yang tidak diharapkan kadang muncul pada situasi yang tidak terpikirkan sebelumnya. Makanya penyesalan selalu belakangan. Jalan mulus yang menghubungkan nadi kehidupan manusia ternyata memiliki sedikit efek buruk bagi satwa tertentu. Kura-kura adalah salah satu korban utamanya.

Terutama jalan-jalan yang melintasi perairan rawa seperti yang banyak ditemukan di timur Riau, Pulau Sumatera, tidaklah jarang menemukan kura-kura remuk di pinggir jalan. Apa yang terjadi dengan hewan berbatok itu?

Ternyata tak hanya manusia korban jalan raya. Satwa-satwa yang melakukan pergerakan sepanjang hidupnya akan terintai bahaya juga. Kura-kura dinilai punya poin besar sebagai ”tumbal” lalu lintas.

Di Sumatera, ditaksir memiliki 16 jenis kura-kura (turtle dan tortoise). Empat spesies di antaranya dianggap paling sering melintasi jalan raya, yakni kuya batok (Cuora amboinensis), kura-kura berduri (Heosemys spinosa), kura-kura pipi putih (Siebenrockiella crassicollis) dan beiyogo (Notochelys platinofa). Dari kehadiran dan toleransi hidup yang tinggi, kuya batok adalah nominasi terkuat menjadi korban.

Kuya batok cukup umum menjadi korban. Populasinya dinilai masih aman karena keberagaman habitat hidupnya. Parit drainase jalan raya pun dianggap masih mampu ditinggali. Terutama di jalan yang melintasi rawa, dinamika kura-kura melewati jalan tergolong tinggi. Saya dan Pak Mistar sendiri, ketika melewati beberapa ruas jalan di Pulau Rupat dan Kabupaten Bengkalis lainnya, cukup umum mendapati kuya batok mencuri kesempatan memotong jalan. Dua di antaranya tergilas kendaraan.

Tempurung kuya batok pun dinilai tidak sekuat kura-kura lain. Tiap kali mobil menggilas karapasnya, bisa dipastikan akan pecah. Secara evolusi, cangkangnya yang tetap bertahan jutaan tahun lalu itu memang tidak diciptakan untuk menghindar dari bahaya jalan raya yang puluhan tahun lalu baru dibangun di berbagai daerah.

Ada beberapa alasan kenapa kura-kura paling mencuat. Pertama, pergerakannya cukup lamban sehingga membuka peluang lebih besar terlindas. Kedua, sewaktu terganggu kendaraan, kura-kura itu justru bersembunyi dan diam sampai merasa aman ke dalam batok yang berarti probabilitas kematian tinggi. Ketiga, sebagai hewan yang relatif penyendiri, kura-kura harus melakukan perpindahan tempat untuk mencari pasangannya yang kemungkinan berada di sebelah jalan raya.

Jalan raya cenderung mengancam keberadaan satwa. Khususnya jalan sibuk lalu lalang kendaraan. Terlebih lagi pada kawasan padat kehidupan. Jenis herpetofauna lain yang kerap didapati gepeng di tengah jalan antara lain katak (Bufo melanostictus, Fejervarya spp), bunglon kampung (Calotes versicolor), biawak (Varanus salvator), ular lidi (Dendrelaphis spp), kobra (Elapidae), Elaphe flavolineata, dan banyak lagi.

Mendokumentasikan problema baru yang dihadapi herpetofauna sekarang ini mulai dianggap penting. Karena di jalan misalnya, kadang kita menemukan seekor anak ular yang tiba-tiba mati. Diperkirakan ular muda tersebut kurang pengalaman melewati ruas jalan pada terik matahari. Sisik geraknya tidak ideal berdinamika di atas aspal. Meski pun saya tidak tahu persis itukah alasannya?

Nah, tulisan ini saya harap sedikit membuka sedikit ancaman ringan dari herpetofauna.■