Banyak
orang beranggapan bahwa Batang Toru adalah hanya sebatas salah satu kabupaten yang terletak
di Tapanuli Selatan yang terkenal dengan tambang emasnya. Namun sesungguhnya,
berbicara tentang Batang Toru tidaklah melulu tentang tambang logam mulia itu. Kawasan Hutan
Batang Toru terdiri dari dua blok, yaitu Blok Barat dan Blok Timur yang
terbentang di tiga kabupaten, yaitu Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah dan
Tapanuli Selatan. Hutan Batang Toru merupakan harta karun Tapanuli yang
memiliki kekayaan dan fungsi ekologis yang sangat penting.
Hutan
tersebut adalah habitat
terakhir bagi populasi orangutan
Sumatera (Pongo abelii) yang jauh
terpisah dari orangutan lain di Sumatera Utara dan Aceh (Yel, 2007). Selain
orangutan, Batang Toru adalah
habitat
bagi harimau Sumatera, tapir, kambing hutan, owa, kucing batu, siamang, beruang
madu, berbagai jenis burung, serangga, dan lainnya.
Dari kajian herpetofauna,
khususnya reptil, kawasan hutan Batang Toru memiliki keanekaragaman reptil yang cukup tinggi. Jenisnya antara lain
Ophisaurus wagneri, Phyton
reticulates, Cuora amboinensis, Megophrys nasuta, Huia sumatera, dll.
Di sini saya akan berbagi pengalaman tentang
perjumpaan ular
ketika melakukan penelitian di Stasiun Pemantauan Flora Fauna SOCP-Yel Batang
Toru. Saya sendiri sebenarnya masih
sangat “buta” dunia ular.
Stasiun
pemantauan flora fauna SOCP-YEL
--dikenal juga dengan nama Camp Mayang-- termasuk dalam kawasan hutan
lindung, berada di hutan Batang Toru blok barat Kabupaten Tapanuli Utara seluas area lebih kurang 12 km.
Berdasarkan pemantauan
herpetofauna yang telah dilakukan oleh SOCP-YEL, ditemukan 4 famili
ular,
yaitu dari famili
Colubridae, Elapidae, Typhlophiidae, dan
Viperidae (Yel,
2012).
Februari
2013 lalu,
saya melakukan penelitian selama tiga bulan di Stasiun Pemantauan Flora dan Fauna SOCP-YEL Batang Toru.
Penelitian ini sama
sekali tidak berhubungan dengan ular atau
pun
herpetofauna, melainkan perilaku sosial orangutan. Namun waktu itu, saya sempat beberapa kali membantu
teman saya yang sedang melakukan penelitian amfibi dan
juga berkesempatan herping
bersama pengamat
herfetofauna berpengalaman, Mistar Kamsi. Dalam kegiatan herping yang saya ikuti, kami menemukan beberapa jenis
ular, yaitu Trimeresurus albolabris,
Dryocalamus subannulatus dan Xenochrophis
trianguligerus
Trimeresurus albolabris
lebih
dikenal oleh masyarakat setempat dengan sebutan “ulok naoto” (ular bodoh) karena ular ini bisa
bertengger di atas pohon yang sama selama berbulan-bulan. Trimesurus albolabris adalah spesies ular dari famili
Viperidae.
Bandotan (Viperidae) adalah ular dengan taring panjang bergantung, memiliki
bisa yang bervariasi antar spesies. Biasanya bisa mengandung protein pemecah
sel darah yang menyebabkan pendarahan internal. Trimesurus albolabris yang kami jumpai ini baru berganti kulit
sehingga sangat sensitif dan cukup agresif. Dengan kondisinya yang seperti itu
saya cukup takut untuk mengabadikannya dengan lensaku. Namun dengan bantuan Mistar Kamsi,
akhirnya saya mendapatkan foto yang lumayan bagus.
Dryocalamus
subannulatus dan Xenochrophis trianguligerus
adalah spesies ular dari famili
Colubridae. Colubridae merupakan
spesies ular yang paling sering kami
jumpai. Suku ini adalah famili terbesar
(2/3 dari seluruh spesies)
di dunia.
Sebagian besar ular bertaring belakang tidak terlalu berbahaya bagi manusia
karena taringnya terletak jauh di belakang sehingga tidak terlalu berfungsi. Xenochrophis trianguligerus atau
ular segitiga merah memiliki banyak variasi warna sehingga lebih akurat dengan
menghitung jumlah sisik.
Sewaktu
melakukan pencarian orangutan terkadang kami bertemu dengan beberapa jenis
ular, seperti Calliophis bivirgatus, Trimeresurus hageni, dan Calamaria margaritophora.
Calliophis bivirgatus adalah spesies
ular dari famili
Elapidae yang semuanya berbisa. Elapidae memiliki
taring yang terletak di bagian depan rahang atas sehingga dapat menyuntikkan
bisa melalui serangan
tiba-tiba dan mematikan. Sepintas ular ini mirip Calamaria
schlegeli, namun sebenarnya antara Calamaria
schlegeli dan Calliophis bivirgatus jelas
berbeda. Kuncinya ada pada
ekor,
Calliophis bivirgata memiliki ekor berwarna merah, sedangkan Calamaria schlegeli tidak. Warna kepala juga berbeda, Calliophis bivirgata memiliki tanda
"panah" di bagian kepalanya, sedangkan Calamaria schlegeli batas warna merah kepala dan leher melingkar
rapi. Sisik Calamaria sp cenderung memendarkan cahaya, warna tubuh mengilat dan berwarna
seperti pelangi ketika terkena cahaya. Sangat berbahaya apabila kita tertukar
dalam mengidentifikasi ular ini karena Calamaria
schlegeli adalah ular Colubridae yang
tidak berbisa, sementara Calliophis
bivirgata adalah ular Elapidae yang
memiliki bisa mematikan. Ular yang dulu memiliki nama Maticora bivirgata ini kami temukan ketika siang hari sehingga
tidak begitu agresif.
Trimeresurus hageni kami
temukan di lantai hutan. Dia begitu tenang dan tidak menunujukkan pergerakan
sedikit pun, seperti ular yang sudah
mati. Mungkin karena sifatnya
yang nokturnal (aktif malam hari) sehingga
ketika kami menemukannya di siang hari ular tersebut tidak begitu aktif. Berbeda dengan Trimeresurus albolabris, (hagen’s pit viper) memiliki
tekstur kulit yang kuat. Trimeresurus
hageni merupakan endemik Asia Tenggara, persebarannya di Indonesia hanya
terbatas di pulau Sumatera dan pulau-pulau kecil di sekitarnya.
Calamaria margaritophora merupakan
ular dari kelompok Colubridae. Awalnya
saya mengira bahwa ular ini merupakan anakan, namun ternyata ular endemik Sumatera ini memang memiliki
ukuran yang relatif kecil
dengan panjang maksimum 36 cm.
Hutan Batang Toru masih menyimpan
banyak misteri keragaman herpetofauna khususnya ular yang belum banyak digali dan dikaji. Saya
yakin dengan penelitian yang berkelanjutan, serius, dan fokus akan diperoleh
keanekaragaman ular yang lebih besar. Dengan melakukan penelitian berarti kita
telah ikut bertindak dalam pelestarian herpetofauna serta menambah khazanah
dalam ilmu pengetahuan. Hutan Batang Toru menyimpan kekayaan alam yang
bermanfaat bagi seluruh lapisan makhluk hidup. Oleh karena itu, sudah sewajarnya kita sebagai
manusia menjaga kelestarian hutan yang menjadi habitat berbagai jenis flora
maupun fauna dan menyangga kehidupan makhluk hidup.
Terima kasih kepada semua teman-teman
Herpetologer Mania yang banyak membantu saya dalam mengidentifikasi dan memberikan
penjelasan tentang semua hal yang berhubungan dengan tulisan ini. Untuk itu,
kepada Agus Jati, Syahputra Putra, Riza
Marlon, Roy Hasby, Muhammad Iqbal, Aristyawan Cahyo Adi dan Akhmad Junaedi Siregar, transfer ilmunya tentunya sangat bermanfaat.
Teks dan foto oleh Arfah Nasution
Pustaka:
Ensiklopedia Dunia Hewan: Reptil
Laporan Hasil Monitoring Flora Dan Fauna Di Stasiun Penelitian Hutan
Batang Toru, Tapanuli Utara-Sumatera
Utara (SOCP-YEL). Unpublished report.