Proses ampleksus kodok Bufo melanostictus pada malam hari di depan rumah kontrakan penulis di Yogyakarta (Foto: Aditya Krishar Karim). |
Kodok jenis Bufo melanostictus Schneider, 1799 atau spesies dengan nama yang
sering dipakai Duttaphrynus
melanostictus Schneider, 1799, dimasukkan ke dalam famili Bufonidae.
Kodok ini memiliki penyebaran yang
cukup luas di Indonesia mulai dari Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, Sulawesi
sampai di Papua dan Papua Nugini. Kodok ini cukup menarik dan memiliki nama
yang banyak seperti bangkong kolong, kodok puru, kodok buduk (Jakarta),
kodok berut (Jawa), kodok brama (Jawa untuk yang berwarna kemerahan), dan Asian
black-spined toad, Common Indian
Toad, Common Asian Toad (Inggris) (Iskandar, 1998; Menzies, 2006 ).
Kodok ini memiliki
panjang antara 55-80 mm SVL untuk jantan dan 65-85 mm SVL untuk betina, berpenampilan
gendut dan kulit yang kasar berbintil-bintil. Pada bagian kepala terdapat gigir
keras (biasanya berwarna kehitaman) menonjol yang bersambungan mulai dari atas
moncong; melewati atas, depan dan belakang mata hingga
di atas timpanum (gendang telinga). Sepasang kelenjar parotoid (kelenjar racun) yang
besar panjang terdapat di atas tengkuk (Iskandar, 1998). Sekresi kulit dan kelenjar
granular dari katak ini menghasilkan beberapa senyawa bufadienolida, alkaloid,
steroid, peptida dan protein, yang memiliki aktivitas biologi yang penting
seperti antimikroba, anti kanker dan lain-lain (Bhattacharjee et al., 2011, Gomes et al., 2011).
Bagian punggung
bervariasi warnanya antara coklat abu-abu gelap, kekuningan, kemerahan, sampai
kehitaman. Terdapat bintil-bintil kasar di punggung dengan ujung kehitaman.
Sisi bawah tubuh putih keabu-abuan, berbintil-bintil agak kasar. Telapak tangan
dan kaki dengan warna hitam atau kehitaman, tanpa selaput renang, atau kaki
dengan selaput renang yang sangat pendek (Iskandar, 1998).
Jenis ini
terlihat sangat akrab dengan lingkungan tempat tinggal manusia. Makhluk ini
sering terlihat di sekitar kos-kosan misalnya di dalam kamar mandi, teras
rumah, bahkan masuk ke dalam rumah, di halaman, selokan dekat perumahan di sekitar
perkampungan atau di kota-kota yang ada di Yogyakarta. Juga teramati
di tempat-tempat keramaian seperti di sekitar mall-mall Malioboro. Dalam
pengamatan sekitar wilayah kampus UGM, kodok puru ini sering terlihat melompat
atau duduk termenung melihat aktivitas mahasiswa UGM yang begitu ramai baik
pada siang hari atau malam hari. Keramaian kota Yogyakarta yang
begitu padat tidak menjadi suatu masalah. Seolah-olah mereka berbaur dengan
segala aktivitas manusia dan keramaian, walaupun beberapa ekor dijumpai mati
tertabrak motor atau mobil di tengah jalan. Bahkan suatu ketika penulis sedang
bersantap di rumah makan lesehan pinggir jalan, kodok tersebut juga teramati
tanpa rasa takut. Mereka melompot-lompat dan berhenti sejenak menatapi kami dan
melanjutkan perjalanannya entah ke mana. Selain itu, aktivitas ampleksus dari
kodok ini dapat teramati pada saat hujan rintik, menjelang malam dekat rumah kontrakan
kami di Yogyakarta, foto ini saya abadikan bersama anak saya Adiantha Putratama
yang kala itu masih menjadi siswa di salah satu SD Negeri di Yogyakarta, sambil
mengenalkan dan mengajarkannya tentang kodok ini.
Dilaporkan bahwa
jenis ini merupakan kodok introduksi di Papua dan Papua Nugini (Menzies, 1976,
2006). Oleh karena itu, untuk menemukannya sangat sulit sekali dan sekarang
memiliki penyebaran yang terbatas di wilayah Papua yaitu di daerah pesisir
sekitar Manokwari (Kartikasari, dkk. 2012). Bahkan untuk wilayah Jayapura dan
sekitarnya dari beberapa penelitian yang dilakukan mahasiswa kelompok
Herpetologi Jurusan Biologi, FMIPA UNCEN tidak pernah masuk daftar sama sekali.
Hal ini nampak berbeda di Yogyakarta, kodok ini mudah sekali dijumpai pada saat
menjelang malam apalagi pada saat hujan rintik-rintik. Pertanyaannya, apakah
para kodok jenis ini lebih senang tinggal di kota-kota yang ramai mengikuti
pola hidup manusia yang suka mencari pekerjaan dan nafkah di kota-kota besar,
dibandingkan tinggal di hutan-hutan tropis Papua yang tenang, aman dan damai?
Untuk itu, bagi
para herpetologis atau peminat hewan-hewan herpetofauna yang belum pernah
melihat jenis kodok ini, Kota Yogyakarta merupakan salah kota alternatif yang
dapat dikunjungi selain melihat keindahan candi-candinya, tempat wisata dan
keramaian kota ini juga dapat melihat jenis kodok yang memiliki persebaran yang
unik tersebut.
Pustaka
Bhattacharjee, P, Giri, B, and Gomes, A.
2011. Apoptogenic
Activity and Toxicity Studies of A Cytotoxic Protein (BMP1) from The Aqueous
Extract of Common Indian toad (Bufo
melanostictus Schneider) Skin. Toxicon.
57(2): 225-236.
Gomes, A., Giri, B., Alam, A., Mukherjee, S., Bhattacharjee, P and
Gomes, A. 2011. Anticancer Activity of A
Low Immunogenic Protein Toxin (BMP1) from Indian Toad (Bufo melanostictus, Schneider) Skin Extract. Toxicon. 58(1): 85-92.
Iskandar, D.T.
1998. Amfibi Jawa dan Bali. Pustlitbang Biologi-LIPI. Bogor.
Menzies, J. 1976.
Handbook of Common New Guinea Frogs. Wau Ecology
Institute. PNG.
Menzies, J. 2006. The Frog of New Guinea and The Solomond Islands.
Pensoft Publisher. Bulgaria.
Kartikasari, S.N., Marshall, A.J., and
Beehler, B.M. (Eds). 2012. Ekologi Papua. Seri Ekologi Indonesia Jilid VI.
Yayasan Obor Indonesia dan Conservation International. Jakarta.
Oleh Aditya Krishar Karim
(Laboratorium Zoologi, Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Cenderawasih, email : krisharkarim@yahoo.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Sahabat Herpetologer Mania yang baik, silahkan membubuhkan komentar Anda. Jika ingin lebih cepat direspon, Sahabat Herpetologer Mania bisa berdiskusi melalui imel kami: herpetologermania@gmail.com atau ke grup media sosial fesbuk: Herpetologer Mania.
Salam herping!